Unduh PDF Bahasa InggrisUnduh PDF bahasa Spanyol

Daftar isi

Pendahuluan: Kuk Yesus — Kekristenan sebagai Kehidupan Bimbingan
Bagian I: Injil Matius sebagai Buku Pemuridan
Bagian II: Menata Ulang Pemahaman Kita tentang Kebahagiaan (5:3–16)
Bagian III: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan Orang Lain? (5:17–5:48)
Bagian IV: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan-Nya? (6:1–21)
Bagian V: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan Segala Sesuatu dan Orang di Dunia? (6:19–7:12)
Bagian VI: Undangan Yesus untuk Hidup Penuh Hikmat dan Berkembang (7:13–27)
Kesimpulan: Kata Terakhir

Khotbah di Bukit

Oleh Jonathan T. Pennington

Bahasa inggris

album-art
00:00

Perkenalan

Kuk Yesus — Kekristenan sebagai Kehidupan Bimbingan

Selama dua ribu tahun terakhir, ada satu simbol yang menjadi pusat seni, teologi, perhiasan, arsitektur, spanduk, dan bahkan tato Kristen: salib. Gambar dan patung di seluruh dunia Kristen menyoroti salib Yesus. Banyak sekali khotbah dan buku yang berbicara tentang pentingnya salib. Gereja dan pelayanan sering kali memiliki kata "salib" dalam nama mereka. Dan hingga saat ini, sebagian besar gereja dibangun dalam bentuk salib dengan altar di titik tengahnya. 

Sikap berpusat pada salib ini dapat dipahami. Yesus rela mati sebagai korban di kayu salib (Matius 26:33-50). Yesus sering berbicara tentang perlunya para pengikut-Nya memikul salib mereka sendiri dan mengikuti-Nya (Matius 10:38; 16:24; Markus 8:34; Lukas 14:27). Rasul Paulus sering berbicara tentang kehidupan Kristen yang merangkul salib Kristus, termasuk rasa sakit dan malunya (1 Korintus 1:17-28; Galatia 6:14; Kolose 1:19-23).

Namun, ada simbol penting lain yang digunakan Yesus yang tidak memainkan peran sentral dalam pemikiran Kristen seperti salib, tetapi menurut saya seharusnya demikian: kuk. Sebuah studi yang saksama terhadap Injil Matius menunjukkan bahwa meskipun hanya ditemukan dalam satu teks, kuk merupakan pusat teologi dan tujuan Injil Matius dan seluruh pelayanan Yesus. Dalam Matius 11:28–30, setelah dengan berani menyatakan peran uniknya sebagai pewahyu Allah (11:25–27), Yesus mengundang orang-orang untuk memikul kuk-Nya dalam hidup mereka.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Karena kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan. (Matius 11:28–30)

Kuk dan salib keduanya terbuat dari kayu, tetapi kuk lebih merupakan gambaran pertanian daripada simbol eksekusi. Kuk menggambarkan seorang petani yang dengan sabar menuntun seekor hewan di sepanjang ladang, memberi petunjuk arah kepada lembu atau sapi saat membajak tanah dan menyiapkan tanah untuk ditanami. 

Apa yang Yesus maksud dengan undangan-Nya untuk memikul kuk-Nya di atas leher kita segera dijelaskan — artinya adalah “belajarlah dari-Ku” (11:29). Kata yang diterjemahkan “belajar” di sini adalah kata untuk “menjadi murid,” yaitu, seseorang yang menjadi murid dari seorang guru besar, yang belajar dari perkataan dan teladan seorang ahli. Sementara salib berbicara tentang pengorbanan diri, kuk berbicara tentang pemuridan, atau bimbingan. Inilah Kekristenan: undangan Yesus untuk belajar dari-Nya tentang cara menemukan shalom sejati, kehidupan yang berkembang yang kita ciptakan dan dambakan. Yesus mengatakan bahwa istirahat sejati ini hanya akan ditemukan dalam mengambil miliknya kuk atas hidup kita, menjadi murid-murid dia, menyerahkan ke dia sebagai mentor sejati kita.

Bagian I: Injil Matius sebagai Buku Pemuridan

Gambaran Yesus sebagai guru, pembuat murid, dan mentor ditemukan di seluruh Injil, tetapi tidak ada tempat yang sejelas dalam Injil Matius. Dari awal hingga akhir, Injil Matius berbicara tentang pemuridan, dan seluruh kisahnya terstruktur sebagai buku pembuat murid. 

Ketika Yohanes Pembaptis datang berkhotbah, pesannya adalah panggilan untuk bertobat karena kedatangan kerajaan surga (3:2). Yesus mengatakan hal yang sama persis ketika Ia memulai pelayanan-Nya (4:17). Panggilan untuk bertobat bukanlah pesan kutukan, tetapi undangan. Panggilan untuk bertobat bukanlah pesan rasa bersalah yang menumpuk, tetapi panggilan mendesak untuk berpaling dari satu cara pandang dan keberadaan di dunia kepada cara hidup Allah. Pertobatan adalah bahasa pemuridan.

Kesimpulan klimaks yang terkenal dari Injil Matius juga menekankan pemuridan. Dalam “Amanat Agung”-Nya (Matius 28:16–20), Yesus mengutus murid-murid-Nya dengan otoritas-Nya sendiri untuk “menjadikan murid” orang-orang dari setiap bangsa. Pemuridan ini adalah bimbingan hidup-ke-hidup yang berakar pada Allah Tritunggal (dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus) dan tampak seperti membaptis dan mengajar orang-orang. Baptisan adalah undangan bagi orang-orang untuk mengidentifikasi diri dengan Yesus dan masuk ke dalam komunitas murid-murid-Nya yang lain. Mengajar adalah undangan untuk belajar menghuni dunia sesuai dengan petunjuk Yesus mengenai doktrin, moralitas, kebiasaan, dan kepekaan yang Yesus sendiri contohkan. Ini adalah bimbingan dan tidak ada yang lebih penting bagi Kekristenan daripada ini.

Namun, penekanan pada pemuridan ini tidak hanya ada di awal dan akhir Injil Matius. Antara panggilan awal untuk bertobat dan perintah penutup untuk pergi dan menjadikan murid, seluruh Injil Matius dibangun di atas visi pemuridan. Matius mengomunikasikan hal ini dengan menyusun bagian utama Injilnya di sekitar lima blok pengajaran besar (pasal 5–7, 10, 13, 18, 23–25). Blok-blok ini adalah kumpulan ajaran Yesus untuk tujuan pemuridan. 

Di dunia kuno, banyak biografi yang ditulis tentang guru dan filsuf terkenal. Ucapan seorang guru sering dikumpulkan menjadi kompilasi yang dapat dihafal berdasarkan suatu tema, yang disebut "epitom". Jika seseorang ingin mempelajari filsafat hidup atau agama tertentu, sebuah epitom menyediakan mereka seperangkat petunjuk yang praktis dan mudah diakses untuk direnungkan dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Epitom ini sangat penting karena sangat sedikit orang di dunia kuno yang memiliki akses ke pendidikan, dan kebanyakan orang tidak dapat membaca atau menulis selain dari tanda-tanda dasar. Memiliki blok ajaran yang dapat dihafal berdasarkan suatu tema sangat penting untuk menjadi mentor.

Jadi Matius, yang juga seorang murid Yesus dan berkomitmen untuk menaati perintah Tuhan untuk menjadikan lebih banyak murid, menulis biografi yang hebat tentang Yesus sang guru dengan tujuan ini: untuk mengajak orang bertobat dan memikul kuk Yesus dalam hidup mereka sehingga mereka dapat menemukan kehidupan. Singkatnya, Matius mengajak kita untuk dibimbing ke jalan pemuridan kerajaan Kristen. Kisah-kisah tentang apa yang Yesus lakukan dan kumpulan ajaran-ajarannya sangat penting untuk tujuan ini.

Injil Matius disusun seperti ini, dengan lima blok pengajaran yang disorot:

  1. Asal-usul dan Awal Mula (1:1–4:22)
  2. Pendahuluan (1:1–4:16)
  3. Jembatan (4:17–22)
  4. Wahyu dan Pemisahan: Dalam Perkataan dan Perbuatan (4:23–9:38)
  5. Intisari Pertama (5:1–7:29)
  6. Narasi Pertama (8:1–9:38)

III. Wahyu dan Pemisahan: Sebagai Guru, Demikian pula Murid (10:1–12:50)

  1. Intisari Kedua (10:1–11:1)
  2. Narasi Kedua (11:2–12:50)
  3. Wahyu dan Pemisahan: Umat Allah yang Baru dan Terpisah (13:1–17:27)
  4. Intisari Ketiga (13:1–53)
  5. Narasi Ketiga (13:54–17:27)
  6. Wahyu dan Pemisahan: Di Dalam dan di Luar Komunitas Baru (18:1–20:34)
  7. Intisari Keempat (18:1–19:1)
  8. Narasi Keempat (19:2–20:34)
  9. Wahyu dan Pemisahan: Penghakiman Sekarang dan di Masa Depan (21:1–25:46)
  10. Narasi Kelima (21:1–22:46)
  11. Intisari Kelima (23:1–25:46)

VII. Akhir dan Awal (26:1–28:20)

  1. Jembatan (26:1–16)
  2. Kesimpulan (26:17–28:20)

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa seluruh Injil didedikasikan untuk pemuridan dan kelima intisari ini memberikan konsentrasi tertinggi dari materi bimbingan.

Berfokus pada Orang Terkenal: Khotbah di Bukit

Sepanjang sejarah gereja, bagian pertama dari khotbah ini — Matius 5–7 — telah menjadi bagian yang paling berpengaruh, paling banyak dikhotbahkan, paling banyak dipelajari, paling banyak ditulis, dan paling terkenal di seluruh Alkitab. Sejak zaman Agustinus, bab-bab ini telah diberi judul, “Khotbah di Bukit.” 

Perbedaan antara denominasi dan tradisi teologis dapat ditelusuri kembali ke seberapa berbeda mereka menafsirkan bab-bab mendasar ini. Saya sering menggambarkan Khotbah di Bukit seperti strip uji kolam renang yang menunjukkan kadar klorin, keseimbangan pH, dan alkalinitas. Jika kita mencelupkan teolog atau denominasi mana pun ke dalam Khotbah di Bukit, itu akan segera memberi tahu kita banyak hal tentang pemahaman dan komitmen teologis mereka. Ini karena Khotbah itu menyentuh begitu banyak kebenaran penting, seperti hubungan Perjanjian Lama dengan ajaran Yesus, apa artinya menjadi orang benar di mata Tuhan, bagaimana memperlakukan orang lain, dan bagaimana berhubungan dengan uang.

Khotbah di Bukit tidak memberi kita semuanya kita ingin atau perlu tahu untuk menjadi murid Yesus yang setia. Itu hanya satu dari lima blok pengajaran dalam Matius, itu adalah bagian dari ajaran lain dalam Matius, dan kita juga memiliki seluruh bagian Alkitab lainnya! Namun khotbah itu terkenal karena suatu alasan: Khotbah itu luas, mendalam, dan mendasar bagi kehidupan murid. Ketiga bab ini adalah tempat yang sangat baik untuk memulai dalam belajar memikul kuk Yesus dalam hidup seseorang dan dibimbing oleh-Nya, Raja segala raja dan Hikmat Allah yang berinkarnasi.

Yesus mengakhiri khotbahnya yang paling terkenal dengan gambaran dua orang yang membangun rumah kehidupan mereka dengan cara yang berbeda (Matius 7:24-27) — yang satu bodoh dan yang satu bijaksana. Orang bodoh mendengar ajaran Yesus tetapi tidak melakukan apa pun dengannya. Orang bijaksana mendengar dan mempraktikkan perkataan Yesus. Alasan mengapa ini menjadi gambaran terakhir dalam khotbah adalah karena seluruh pesan dari Matius 5-7 adalah undangan menuju kebijaksanaan. Kebijaksanaan dapat didefinisikan sebagai cara-cara yang dipraktikkan untuk menghuni dunia yang sesuai dengan kerajaan Tuhan dan menghasilkan perkembangan manusia sejati yang kita dambakanInilah pemuridan yang Yesus undang untuk kita ikuti. Inilah kuk yang Ia tawarkan kepada kita jika kita bersedia dibimbing olehnya. 

Sama seperti seluruh Injil Matius yang terstruktur secara sengaja, demikian pula khotbah di Bukit. Khotbah tersebut bukanlah kumpulan perkataan Yesus secara acak, tetapi pesan yang disusun dengan sangat baik dan terstruktur dengan indah. Khotbah Yesus disusun seperti ini:

  1. Pendahuluan: Panggilan bagi Umat Allah (5:3–16)
  2. Sembilan Ucapan Bahagia bagi Umat Allah yang Baru (5:3–12)
  3. Saksi Perjanjian Baru Umat Allah (5:13–16)
  4. Tema Utama: Kebenaran yang Lebih Besar (GR) bagi Umat Allah (5:17–7:12)
  5. GR dalam Hubungan Mematuhi Hukum Tuhan (5:17–48) 
  6. Usulan (5:17–20)
  7. Enam Penafsiran/Contoh (5:21–47)
  8. Ringkasan (5:48)
  9. GR dalam Kesalehan Kita terhadap Tuhan (6:1–21) 
  10. Pendahuluan: Menyenangkan Bapa di Surga, bukan Manusia (6:1)
  11. Tiga Contoh (6:2–18)

** Inti dari Doa (6:7–15)

  1. Kesimpulan: Pahala di Surga, bukan di Bumi (6:19–21)
  2. GR dalam Hubungan Kita dengan Dunia (6:19–7:12) 
  3. Pendahuluan (6:19–21)
  4. Sehubungan dengan Barang-barang Dunia Ini (6:22–34)
  5. Dalam Hubungannya dengan Orang-Orang di Dunia Ini (7:1–6)
  6. Kesimpulan (7:7–12)
  7. Kesimpulan: Sebuah Undangan untuk Mendapatkan Hikmat dalam Pandangan Masa Depan (7:13–27)
  8. Dua Macam Jalan (7:13–14)
  9. Dua Jenis Nabi (7:15–23)
  10. Dua Jenis Pembangun (7:24–27)

Seperti yang dapat kita lihat, Khotbah ini mengikuti struktur klasik Pendahuluan, Tema Utama, dan Kesimpulan. Setiap bagian memainkan peran dalam keseluruhan pesan. Pesan tersebut merupakan undangan menuju kebijaksanaan, menuju kehidupan yang penuh kedamaian dan kemakmuran yang datang dari memikul kuk Yesus dalam hidup kita.

Dalam uraian berikut, kita akan menelusuri setiap bagian dari khotbah Yesus, untuk mencoba memahami hikmat yang diajarkannya. Kita tidak akan dapat menyampaikan semua hal yang perlu disampaikan tentang ajaran Yesus di sini, tetapi kita akan menggabungkan beberapa bagian dan mengikuti garis besarnya dengan mengajukan pertanyaan, “Seperti apakah rasanya dibimbing oleh Yesus?” 

Diskusi & Refleksi:

  1. Dengan cara apa saja Anda tergoda untuk tidak mendiami dunia menurut kerajaan Allah? 
  1. Di area mana dalam hidup Anda yang ingin Anda lihat kemajuan yang lebih besar? 

Bagian II: Menata Ulang Pemahaman Kita tentang Kebahagiaan (5:3–16)

Sebagai seorang pendeta, salah satu pertanyaan yang sering saya ajukan kepada jemaat adalah, “Pesan apa yang Anda terima saat Anda tumbuh dewasa tentang cara menemukan kehidupan yang baik?” 

Ini adalah pertanyaan yang sangat penting untuk ditanyakan kepada diri kita sendiri karena kita semua menerima suatu bentuk pesan, dan pesan itu terus memengaruhi jalan hidup kita, baik atau buruk, entah kita menyadarinya atau tidak.

Semua orang yang saya tanyai pertanyaan ini dapat memberikan jawaban. Banyak orang langsung menjawab dengan pepatah singkat yang diucapkan berulang kali oleh orang tua, paman, atau mentor mereka. Ucapan seperti:

  • “Anda tidak akan pernah bekerja sehari pun dalam hidup Anda jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan.”
  • “Bekerja keras. Dapatkan nilai bagus. Temukan pasangan yang baik.”
  • “Cintai Tuhan. Cintai sesama.”
  • “Hiduplah dengan mengingat pidato penghormatanmu.”
  • “Jangan khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain. Jadilah dirimu sendiri.”

Atau, jika Perang Bintang memainkan peran penting, Anda mungkin pernah mendengarnya:

  • “Lakukan atau tidak, tak ada kata mencoba” dari Master Yoda.

Kita menyebut kata-kata pendek dan padat ini sebagai “kata mutiara.” Kata mutiara adalah kata-kata bijak untuk membimbing kita melewati berbagai situasi kehidupan yang tidak terduga. Di dunia kuno, ada semacam kata mutiara yang digunakan oleh guru-guru kebijaksanaan yang disebut makarisme, dari kata Yunani yang berarti benar-benar bahagia atau berkembang (makarios). Makarisme adalah pernyataan yang menggambarkan cara hidup yang baik dan indah. Makarisme adalah ajakan untuk mengadopsi pola pikir dan serangkaian kebiasaan tertentu sehingga kita dapat menemukan perkembangan manusia yang sejati.

Macarisme biasanya digunakan bersama dengan lawan katanya: kesengsaraan. Kesengsaraan bukanlah kutukan. Itu adalah peringatan bahwa cara-cara tertentu dalam menjalani hidup akan mengakibatkan kehilangan dan kesedihan. Makarisme juga bukanlah berkat. Itu adalah undangan menuju kehidupan yang baik. Ketika digabungkan, makarisme dan kesengsaraan sering digambarkan sebagai dua cara atau dua jalur kehidupan yang menyimpang dan berakhir pada pengalaman yang sangat berbeda.

Kombinasi dari kata-kata mutiara dan celaka ini ditemukan di seluruh Alkitab sebagai undangan untuk hikmat yang mengarah kepada Tuhan, sebagai perbedaan antara jalan kehidupan dan jalan kehancuran. Misalnya, seluruh kitab Amsal penuh dengan kata-kata mutiara seperti itu, terutama sembilan bab pertama, yang dibangun di atas gagasan tentang dua jalan. Raja Salomo melukiskan gambaran bagi putranya tentang dua jalan hidup yang berbeda; satu jalan akan membawa kehidupan dan yang lainnya kehancuran. Demikian pula, Mazmur 1, yang umumnya disebut sebagai mazmur hikmat, menggambarkan dua jalan yang dapat diambil kehidupan orang-orang — satu yang ada di bawah pengaruh orang-orang bodoh dan yang lainnya di mana seseorang merenungkan petunjuk Tuhan dan membiarkan hikmat ini membimbing hidup mereka. Jalan yang bodoh menuntun pada kehidupan yang tidak lebih baik dari debu yang tertiup angin. Jalan yang bijaksana digambarkan sebagai pohon hijau yang ditanam di tepi aliran air yang menghasilkan buah selama bertahun-tahun.

Inilah yang Yesus katakan di bagian pembukaan khotbah. Sebagai Putra Daud yang terakhir dan setia, Raja Kerajaan Allah, dan perwujudan hikmat itu sendiri, Yesus menawarkan kepada semua orang cara untuk menghuni dunia yang menjanjikan kebahagiaan sejati, tidak hanya untuk zaman ini tetapi juga di Ciptaan Baru yang kekal. Beginilah cara Yesus mengawali khotbahnya, dengan sembilan mazmur tentang kehidupan yang benar-benar baik.

Selama setidaknya 1.500 tahun, makarisme pembukaan ini disebut sebagai Ucapan Bahagia. Deskripsi ini berasal dari kata Latin memukul yang artinya sama dengan makarios —“bahagia” atau “berkembang.” Umat Kristen selalu memahami Matius 5:3–12 sebagai undangan untuk kehidupan yang benar-benar berkembang yang dapat ditemukan melalui Yesus, Yesus yang sama yang berkata di tempat lain bahwa Ia datang “agar mereka memperoleh hidup dan memperolehnya dalam kelimpahan” (Yohanes 10:10)

Namun, saat ini terdapat banyak kebingungan mengenai apa itu Sabda Bahagia. Hampir setiap Alkitab bahasa Inggris modern menerjemahkan Sabda Bahagia Yesus makarios Pernyataan dengan kata “Berbahagialah” dalam bahasa Inggris. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah… berbahagialah orang yang berduka cita,” dst. Ini adalah ide yang sangat berbeda. Jika kita membaca Ucapan Bahagia Yesus sebagai pernyataan berkat, maka kita harus bertanya apa artinya ini. Apakah Yesus mengatakan bahwa Allah akan memberkati orang-orang yang hidup dengan cara yang Ia gambarkan dalam 5:3-12? Apakah ini persyaratan masuk yang baru untuk masuk ke dalam kerajaan? Atau apakah ini hanya menggambarkan jenis orang yang akan diberkati oleh Allah ketika kerajaan datang (yang masih merupakan sesuatu seperti persyaratan)? Pertanyaan-pertanyaan ini salah memahami sifat makarisme. Dengan Ucapan Bahagia, Yesus mengundang kita untuk mengadopsi pemahaman-Nya yang benar tentang dunia sehingga kita dapat menemukan kehidupan yang sejati. Ini bukan persyaratan masuk atau sekadar pernyataan tentang masa depan. Ini adalah visi baru tentang cara menemukan kehidupan sejati melalui mengikuti-Nya.

Yang mengejutkan bukanlah bahwa Yesus menggambarkan kita gambaran kehidupan yang benar-benar berkembang. Yang mengejutkan adalah jalan Ia menggambarkan kehidupan ini di kerajaan Allah. Macarisme Yesus sama sekali bukan apa yang kita harapkan atau inginkan secara alami. Ketika kita membaca sembilan pernyataan Yesus tentang di mana kehidupan sejati dapat ditemukan, kecuali satu, semua pernyataannya ternyata negatif! 

  • Berbahagialah orang yang miskin dalam roh…
  • Berkembanglah mereka yang berduka…
  • Yang lemah lembut berjaya…
  • Berkembanglah mereka yang lapar dan haus akan kebenaran…
  • Berkembanglah orang-orang yang penyayang…
  • Berkembang adalah mereka yang hatinya murni… [satu-satunya yang berpotensi positif]
  • Berkembanglah para pembawa damai…
  • Berkembanglah mereka yang dianiaya karena kebenaran…
  • Anda berkembang pesat ketika orang lain mencaci maki kamu, menganiaya kamu dan mengucapkan segala macam kejahatan secara dusta terhadap kamu karena aku…

Perhatikan gambaran berikut ini — kemiskinan, duka cita, kelemahlembutan, kelaparan dan kehausan, penganiayaan. Gagasan tentang perdamaian dan belas kasihan mungkin terdengar lebih positif, tetapi ini juga merupakan gambaran negatif tentang melepaskan hak-hak kita demi mendamaikan hubungan dengan orang lain.

Apa yang terjadi di sini? Kunci untuk memahami makarisme Yesus adalah dengan memperhatikan apa yang dikatakannya di bagian kedua juga:

  • … karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
  • … karena mereka akan dihibur.
  • … karena mereka akan memiliki bumi.
  • … karena mereka akan merasa puas.
  • … karena mereka akan menerima belas kasihan.
  • … karena mereka akan melihat Allah.
  • … karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
  • … karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Yesus sedang mengubah pemahaman kita tentang kehidupan yang baik dengan mengundang kita untuk mengarahkan hidup kita di sekitar hubungan kita dengan Tuhan sebagai pribadi yang akan menyediakan semua yang kita dambakan dan butuhkan. Alasan mengapa Ia dapat mengatakan bahwa keadaan-keadaan negatif ini — kerendahan hati, dukacita, kehilangan kekuasaan, melepaskan hak untuk mengampuni orang lain, menerima kesalahan penafsiran dan penganiayaan — adalah kebahagiaan adalah karena di tempat-tempat tersebut hati kita diarahkan kembali kepada Tuhan dan Ia menemui kita di sana. Kunci menuju kehidupan yang benar-benar baik, kata Yesus, ditemukan dalam perubahan orientasi hidup kita terhadap Tuhan dan kerajaan-Nya (lihat juga Mat. 6:33) — termasuk fakta bahwa hal ini akan memerlukan penderitaan, kehilangan, dan kesedihan di tengah-tengah kebahagiaan sejati.

Inilah yang dimaksud dengan ayat-ayat terkenal tentang “garam dan terang” dalam 5:13-16. Yesus memanggil para pengikut-Nya untuk mengikuti jalan-jalan-Nya di dunia, untuk menjadi pewarta pesan perjanjian baru yang Ia bawa ke dunia. Karena hal ini akan mendatangkan pertentangan dan kerugian (lihat khususnya Mat. 10), para pengikut-Nya akan tergoda untuk mundur dari jalan-jalan Yesus, untuk berhenti menjadi asin dan menutupi terang mereka. Namun ini bukanlah cara menjadi murid. Sebaliknya, Yesus berkata untuk “biarkan terangmu bercahaya di depan orang lain, sehingga mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga” (5:16).

Jadi apa pesan bimbingannya di sini? 

Kita semua ingin menjalani hidup yang bermakna dan bahagia. Yesus dan Alkitab tidak menentang hal ini. Bahkan, Yesus memulai khotbah pertamanya di Perjanjian Baru dengan pesan ini. Masalah kita bukanlah keinginan untuk bahagia, tetapi kebodohan dan kebutaan kita dalam mencoba menemukannya di tempat lain selain di dalam Tuhan. Seperti yang dikatakan CS Lewis, 

Tampaknya Tuhan kita menganggap keinginan kita tidak terlalu kuat, tetapi terlalu lemah. Kita adalah makhluk setengah hati, yang bermain-main dengan minuman, seks, dan ambisi ketika kegembiraan tak terbatas ditawarkan kepada kita, seperti anak bodoh yang ingin terus membuat kue lumpur di daerah kumuh karena ia tidak dapat membayangkan apa yang dimaksud dengan tawaran liburan di laut. Kita terlalu mudah merasa senang. (“The Weight of Glory”)

Di awal khotbah ini, Yesus mengundang kita untuk menerima kuk bimbingan-Nya dalam membentuk kembali gagasan kita untuk kehidupan yang baik di sekitar Tuhan dan kerajaan-Nya yang akan datang, dengan mengikuti jalan belas kasihan, kerendahan hati, menanggung penderitaan, dan kerinduan yang dicontohkan oleh Yesus sendiri.

Diskusi & Refleksi

  1. Bagaimana penjelasan tentang sabda bahagia Yesus ini serupa atau berbeda dari pemahaman Anda sebelumnya? 
  2. Mengapa kita harus mau menerima kuk bimbingan Yesus — hidup dalam hikmat Khotbah di Bukit? 

Bagian III: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan Orang Lain? (5:17–5:48)

Salah satu pertanyaan yang paling membingungkan dan rumit bagi orang Kristen adalah bagaimana cara berpikir tentang Perjanjian Lama dan ajaran-ajarannya dalam kaitannya dengan Perjanjian Baru. Apakah perintah-perintah dalam Perjanjian Lama masih berlaku bagi orang Kristen? Apakah Allah mengharapkan hal yang sama dari umat-Nya dalam Perjanjian Baru seperti yang Ia lakukan dalam Perjanjian Lama?

Berbagai teolog dan denominasi telah sampai pada kesimpulan yang sangat berbeda tentang pertanyaan-pertanyaan penting ini, dan dua ribu tahun refleksi belum memecahkannya secara definitif. Ini bukan sekadar pertanyaan akademis. Ini memengaruhi cara kita berpikir tentang Tuhan serta bagian mana dari Perjanjian Lama, jika ada, yang terus berlaku setiap hari bagi umat Tuhan dalam perjanjian baru.

Pertanyaan-pertanyaan besar ini merupakan inti dari bagian utama khotbah Yesus (5:17–7:12). Kita tidak dapat menyelesaikan dilema ini sepenuhnya dari ayat-ayat ini; kita memerlukan seluruh Perjanjian Baru untuk memahaminya. Namun, bagian khotbah ini merupakan bagian terpenting dari jawaban Kekristenan terhadap masalah-masalah ini.

Yesus secara langsung membahas masalah Taurat (petunjuk Musa) yang berhubungan dengan Kekristenan dalam 5:17: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Dalam pernyataan yang mendalam ini, Yesus sekaligus menegaskan kebaikan dari apa yang Tuhan lakukan dan perintahkan dalam sejarah Israel. Dan menunjukkan bahwa sesuatu yang baru dan berbeda sedang datang melalui dirinya. Yesus menegaskan keduanya kontinuitas Dan pemegatan antara Perjanjian Lama/Yudaisme dan Kristen. Dia tidak menghapus, tetapi menggenapi.

Banyak hal yang Yesus katakan tentang melakukan kehendak Tuhan dalam 5:17–7:12 mengungkap dan menjelaskan seperti apa kontinuitas dan diskontinuitas ini. Diskontinuitas ditemukan dalam peran Yesus sebagai penengah dan penafsir terakhir kehendak Tuhan. Dia menggunakan otoritasnya untuk menyatakan secara definitif bagaimana menafsirkan Hukum dan Kitab Para Nabi (“kamu telah mendengarnya, tetapi Aku berkata kepadamu…”). Di akhir khotbah, Yesus menegaskan kembali bahwa miliknya kata-kata yang sekarang menjadi kata terakhir: “Setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan ini saya dan melakukan hal itu akan seperti orang bijak yang membangun rumahnya di atas batu” (7:24). 

Ketika kita terus membaca Matius, kita melihat Yesus terus mengklaim otoritas ilahi, seperti kemampuan untuk mengampuni dosa (9:6), menjalankan kendali atas alam itu sendiri (14:13-33), dan proklamasi bahwa tidak seorang pun dapat mengenal Tuhan kecuali melalui dia (11:25-27). "Semua otoritas di surga dan di bumi" yang ia miliki sepenuhnya setelah kebangkitannya (28:18-20) dialihkan ke gerejanya, kelompok murid-muridnya yang berkelanjutan di seluruh dunia (18:18-20; 10:40; 21:21). Semua ini adalah diskontinuitas. Ada era baru, perjanjian baru antara Tuhan dan manusia yang tersedia bagi siapa saja yang mengikuti dia dalam iman (26:28), baik orang Yahudi atau bukan Yahudi, terlepas dari perjanjian Musa yang lama (Rm. 3:21-26; Gal. 3:15-29; Ibr. 9:15-28).

Namun, ada juga kesinambungan antara apa yang telah dikatakan Tuhan di masa lalu dan apa yang diajarkan Yesus sekarang. Tuhan tidak berubah, dan kehendak-Nya serta kebenaran-Nya tidak berubah. Orang Kristen adalah bagian dari perjanjian baru dengan Kristus sebagai perantara, tetapi inti dari apa yang Tuhan kehendaki bagi umat-Nya tidak berubah, karena Dia tidak pernah memerintahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan siapa Dia. Aspek-aspek khusus Yahudi dari perjanjian Musa telah berakhir karena tujuannya telah terpenuhi — untuk membangkitkan benih, Yesus, yang akan memenuhi janji kepada Abraham untuk memberkati semua bangsa-bangsa (Gal. 3:15–29). Ada baru perjanjian yang harus dipatuhi oleh semua orang — Yahudi atau non-Yahudi — agar menjadi umat Allah. Namun, inti kehendak Allah bagi makhluk-makhluk ciptaan-Nya tidak berubah. Inilah yang dimaksud dalam 5:17–7:12.

Pernyataan yang mendasari dan menuntun semua ajaran Yesus di sini ditemukan dalam 5:20: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Pada awalnya ini mungkin terdengar seperti Yesus mengatakan bahwa kita harus melakukan hal-hal yang bahkan lebih benar daripada orang-orang kudus di Perjanjian Lama dan khususnya orang-orang Farisi yang sangat saleh. Ini bukanlah prospek yang menyenangkan. Itu juga bukan maksud Yesus. Sebaliknya, maksudnya adalah bahwa kita harus memiliki kebenaran yang tidak hanya eksternal (perilaku) tetapi juga internal (di dalam hati). “Kebenaran yang melebihi kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” bersifat eksternal Dan internal. Bukanlah banyaknya perbuatan baik yang kita lakukan secara perilaku, melainkan perilaku yang berakar di dalam hati yang melihat dan mengasihi Tuhan.

Apa yang Yesus katakan di sini sepenuhnya sejalan dengan semua yang Tuhan katakan di Perjanjian Lama; Tuhan selalu melihat dan peduli dengan hati kita, bukan hanya tindakan kita. Menjadi kudus berarti menjadi utuh. Perbuatan baik dengan hati yang mati bukanlah yang Tuhan inginkan. Kita harus utuh/konsisten seperti Bapa surgawi kita utuh/konsisten (5:48, yang merupakan arti dari kata “sempurna” di sana). Inilah yang Yesus ajarkan di seluruh 5:17–7:12.

Jadi apa pesan bimbingannya di 5:17–48?

Sederhananya: Untuk menjadi murid Yesus yang dibimbing berarti kita harus melihat ke dalam hati kita, bukan hanya berkonsentrasi pada perilaku baik kita secara lahiriah. Yesus menerapkan gagasan "kebenaran yang lebih besar" yang menyeluruh ini pada enam cara kita berhubungan dengan orang lain. Daftar berikut ini memberikan contoh. Itu bukanlah seperangkat instruksi yang komprehensif tetapi dimaksudkan untuk melatih kembali pemikiran kita tentang pentingnya hati kita ketika kita berhubungan satu sama lain.

  • Contoh pertama menyangkut kemarahan, dendam, dan kebencian terhadap orang lain (5:21–26). Yesus mengakui bahwa pembunuhan adalah salah. Namun, Ia menekankan masalah hati di balik tindakan pembunuhan yang paling utama — kemarahan dan dendam terhadap orang lain. Ia menantang para pengikut-Nya untuk melihat ke dalam diri dan mengatasi akar permasalahannya.
  • Contoh kedua dan ketiga menyangkut pengalaman manusia yang kuat akan seksualitas dan dampaknya dalam pernikahan (5:27-32). Yesus menegaskan bahwa perzinahan itu salah. Namun, para pengikut tidak dapat merasa puas bahwa mereka tidak melakukan perzinahan ketika hati mereka penuh dengan hawa nafsu (5:27-30). Para pengikut tidak dapat memperlakukan ikatan suci pernikahan dari sudut hati yang keras dan dengan demikian dengan enteng bercerai (5:31-32; lihat penjelasan lebih lanjut dalam 19:1-10).
  • Dalam contoh keempat, Yesus membahas tentang menjadi pribadi yang utuh berkenaan dengan tindak lanjut perkataan kita (5:33-37). Jika seseorang membuat komitmen eksternal atau janji, hal itu harus diimbangi dengan kemauan internal untuk melakukan apa yang dikatakan.
  • Dalam contoh kelima dan keenam, Yesus menekankan pentingnya keutuhan dalam hubungan yang paling sulit — mereka yang berbuat salah kepada kita dan mereka yang merupakan musuh kita (5:38–48). Dalam kedua kasus tersebut, Yesus memanggil para pengikutnya untuk beralih dari hati yang suka membalas dendam menjadi hati yang penuh kasih. Sama seperti Allah Bapa yang murah hati kepada anak-anak-Nya. Dan musuh-musuh-Nya, demikian pula seharusnya murid-murid Yesus bersikap terhadap musuh-musuh kita.

Diskusi & Refleksi:

  1. Mengapa Tuhan tidak ingin hanya tindakan kita yang selaras dengan Firman-Nya?
  1. Bagaimana Matius 5:17–48 menantang Anda mengenai hubungan Anda? 

Bagian IV: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan-Nya? (6:1–21)

Dalam 5:17-20, Yesus telah menyatakan dengan jelas bahwa apa yang Ia ajarkan tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan Allah di masa lalu. Ia membawa Perjanjian Baru, yang melakukan mendefinisikan ulang siapa umat Allah dan bagaimana cara memperoleh akses kepada Allah — hanya melalui Dia. Namun, kebenaran yang dituntut Allah tidak berubah. Kita harus diubahkan dalam hati kita, bukan hanya dalam perilaku lahiriah kita. Yesus sekarang menerapkan hal ini pada praktik-praktik rohani kita yang dilakukan untuk menghormati Allah.

Dalam 6:1 Yesus menyatakan dengan jelas bagaimana prinsip keutuhan/kebenaran yang lebih besar berlaku pada praktik-praktik rohani kita. Para murid harus berhati-hati dan penuh perhatian tidak hanya pada praktik-praktik mereka tetapi juga pada motif-motif mereka: "Hati-hatilah, jangan sampai kamu melakukan kebenaranmu di depan orang lain supaya dilihat oleh mereka." Motif-motif hati kita penting, bukan hanya hal-hal yang kita lakukan.

Yesus memberikan tiga contoh nyata tentang cara baik dan buruk dalam menjalankan kesalehan kita: sedekah, doa, dan puasa. Ini bukanlah daftar lengkap praktik spiritual, tetapi model tentang cara menjalankan apa yang diajarkan-Nya. Setiap praktik ini baik; Yesus tidak mengkritiknya. Namun, dalam setiap kasus, para pengikut harus memperhatikan motivasi internal mereka.

Dalam 6:2-4 Yesus membahas praktik baik memberi uang kepada mereka yang membutuhkan. Sedekah berbeda dari persepuluhan dan bentuk pemberian lainnya untuk mendukung Bait Suci atau gereja. Itu adalah pemberian kurban untuk kebutuhan khusus orang-orang. Sedekah adalah bagian dari kepedulian terhadap orang miskin yang diperintahkan Allah di seluruh Perjanjian Lama (Ul. 15:7-11; Mzm. 41:1; Gal. 2:10; Yak. 2:14-17). Tidak ada yang berubah di sini. Namun, Yesus menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk melakukan pekerjaan baik ini secara terbuka dan mencolok dengan tujuan mendapatkan kehormatan dan rasa hormat dari orang lain. Murid sejati akan menolak motif itu dan membantu mereka yang membutuhkan dengan cara yang tidak bertujuan untuk meningkatkan status seseorang. Ini tidak berarti bahwa semua pemberian harus berupa uang tunai sehingga tidak seorang pun tahu siapa yang memberi uang. Ini tidak berarti bahwa jika kita membantu seseorang memindahkan perabotan mereka, kita harus muncul dengan topeng ski, dengan pelat nomor kita dilepas, dan suara kita diubah sehingga tidak seorang pun tahu bahwa kitalah yang membantu. Tetapi itu berarti kita harus waspada terhadap diri kita sendiri dan memperhatikan motif kita, serta menolak membesar-besarkan diri sendiri.

Dalam 6:5–6 Yesus membahas kehidupan doa kita. Sama halnya dengan memberi untuk membantu mereka yang membutuhkan, sangat mungkin untuk berdoa sedemikian rupa sehingga kita memperoleh penghormatan dan rasa kagum dari orang lain. Adalah mungkin untuk menjadi pendoa profesional yang sangat terampil yang kefasihan dan frekuensi berbicara di depan umum menjadi sumber promosi diri. Murid-murid Yesus harus menolak godaan ini tetapi sebaliknya berfokus pada berdoa kepada Bapa dengan cara yang tulus dan pribadi, bukan berdoa sebagai suatu pertunjukan. Seperti halnya memberi sedekah, ini tidak berarti kita tidak boleh berdoa di depan umum atau bersama-sama. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta sejarah gereja penuh dengan contoh-contoh baik tentang berdoa bersama orang lain. Tetapi itu berarti kita harus peka terhadap potensi untuk berdoa dengan motif untuk mendapatkan penghormatan.

Ketika membahas topik ini, Yesus lebih jauh membahas masalah seperti apa seharusnya doa kita dengan memberikan kita apa yang disebut Doa Bapa Kami (6:9-13). Murid-murid Yesus tidak boleh mendekati Tuhan seperti yang dilakukan orang kafir, mengoceh dengan banyak kata untuk mencoba meyakinkan Tuhan yang jauh agar mendengarkan mereka, seolah-olah doa adalah mantra ajaib (6:7). Sebaliknya, orang Kristen mengenal Tuhan sebagai Bapa, sama seperti Yesus, dan karena itu kita dapat berdoa dengan cara yang berbeda. Dalam Doa Bapa Kami, Yesus memberikan pedoman untuk jenis doa yang tidak untuk pamer tetapi tulus dan ditujukan kepada Tuhan dalam hubungan.

Dalam 6:18–19 Yesus memberikan contoh ketiga tentang seperti apa kesalehan manusia seutuhnya, kali ini membahas puasa. Puasa — berpantang makanan untuk waktu yang khusus untuk berfokus pada ketergantungan kita kepada-Nya — adalah sesuatu yang telah dipraktikkan oleh orang Yahudi dan Kristen selama ribuan tahun. Yesus mengharapkan dan memuji praktik ini di antara para pengikut-Nya. Namun, seperti halnya memberi sedekah dan berdoa, sangat mudah untuk menjalankan praktik puasa yang baik dengan cara yang mencari kehormatan orang lain. Adalah mungkin untuk berpuasa dengan cara yang menarik perhatian pada kesalehan seseorang. Sebaliknya, Yesus mengundang para pengikut-Nya ke dalam cara berpuasa yang berbeda, dengan berfokus bukan pada penampilan luar tetapi pada hubungan dekat dengan Tuhan sebagai Bapa.

Yesus menyimpulkan tiga pembahasan tentang memperhatikan hati kita dalam tindakan kesalehan dengan nasihat terakhir: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi” yang dapat binasa, tetapi “kumpulkanlah bagimu harta di surga” yang tidak dapat binasa (6:19–20). Ini adalah cara lain untuk mengatakan apa yang Dia katakan di 6:1, di mana Dia memperingatkan bahwa, jika Anda menjalankan kesalehan Anda dengan motif yang salah, “Anda tidak akan memperoleh upah dari Bapa Anda yang di surga.” Dalam setiap contoh, Yesus menggunakan bahasa yang persis sama — motif hati membuat perbedaan antara apakah seseorang menerima upah dari Bapa di surga (6:4, 6, 18) atau “upah” sementara dan cepat berlalu dari pujian orang lain, yang sebenarnya bukanlah upah sama sekali (6:2, 5, 16).

Jadi apa pesan bimbingan dalam 6:1–21?

Sekali lagi: Menjadi pengikut Yesus berarti kita harus melihat ke dalam hati kita, bukan hanya ke luar pada perilaku baik kita. Tindakan kesalehan — memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa — adalah baik karena tindakan tersebut membentuk hidup kita. Namun, kebenaran eksternal tersebut tidak cukup jika kita tidak memeriksa hati dan motif kita. Orang Farisi memberi contoh kepada kita tentang potensi menjadi orang religius yang baik tetapi tidak benar-benar memiliki hubungan dengan Tuhan Bapa.

Begitu kita mulai mendengar pesan dari Yesus ini, mudah untuk jatuh ke dalam keputusasaan dan de-motivasi, karena orang yang jujur tahu bahwa motif tidak pernah sepenuhnya jelas dan murni. Bahkan ketika kita mencari ketulusan penuh, pemberian kita kepada orang lain, doa kita, puasa kita, pengajaran kita, penginjilan kita, dll., tidak pernah bebas dari campuran. Maksud Yesus bukanlah untuk melumpuhkan kita dengan introspeksi yang tidak wajar yang mencegah kita berbuat baik sampai kita tahu bahwa hati kita benar-benar murni. Itu tidak akan terjadi sampai kita sepenuhnya ditebus dalam Ciptaan Baru. Sebaliknya, Yesus memanggil murid-murid-Nya untuk hidup dalam kesadaran hati kita. Saat kita memikul kuk pemuridan-Nya atas hidup kita, itu akan membentuk motif, kepekaan, dan kasih sayang kita. Kita akan mengalami musim pertumbuhan dan musim kekeringan. Kita akan membuat kemajuan di satu area hati kita dan tersandung di area lain. Namun seiring waktu, kita akan melihat pertumbuhan dalam keutuhan saat kita belajar dari-Nya.

Pertanyaan untuk Refleksi

  1. Bagaimana wujud doa Anda kepada Tuhan sebagai “Bapa di Surga” dalam kehidupan sehari-hari?
  1. Dengan cara apa Anda tergoda untuk melakukan praktik spiritual dengan tujuan mendapatkan persetujuan dan penghormatan dari manusia, ketimbang menghormati Tuhan? 
  1. Apakah Anda berjuang untuk menaati Yesus ketika Anda tahu motivasi Anda tidak murni? Mengapa Anda masih harus mengambil langkah kesetiaan berikutnya? 

Bagian IV: Apa yang Dipedulikan Tuhan dalam Hubungan Kita dengan Segala Sesuatu dan Orang di Dunia? (6:19–7:12)

Dalam tulisan Yunani kuno, para penulis sering kali membuat permainan kata yang cerdik, menggunakan kata-kata yang sama untuk mengomunikasikan dua gagasan yang berbeda, seperti yang masih kita lakukan dalam puisi dan lirik lagu saat ini. Dalam Matius 6:19–21, Yesus melakukan hal ini. Nasihat untuk menyimpan harta di surga daripada di bumi merupakan kesimpulan dari apa yang Yesus katakan tentang pahala rohani dalam Matius 6:1–18. Pada saat yang sama, nasihat untuk menyimpan harta di surga daripada di bumi juga merupakan pengantar untuk Matius 6:22–7:12. 

Dalam bagian ketiga dari bagian utama Khotbah (6:19–7:12), Yesus melanjutkan pesan yang sama — menjadi orang benar lebih dari sekadar memiliki perilaku lahiriah yang saleh; itu juga harus datang dari hati yang telah diubahkan. Kebenaran yang hanya tampak di permukaan saja tidaklah cukup (5:20). Sebaliknya, menjadi murid berarti menjadi orang yang mengejar keutuhan —kesesuaian dengan kehendak Bapa baik di dalam maupun di luar (5:48).

Dalam 6:19–7:12 Yesus menerapkan tema keutuhan pada hubungan para murid dengan barang-barang dan orang-orang di dunia, dengan uang dan hubungan. Apa yang kita hargai menjadi apa yang kita cintai dan siapa kita di dalam. Inilah yang Yesus maksud dengan mengatakan, “di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (6:21). Yesus pertama-tama menunjukkan bagaimana prinsip harta-hati ini bekerja dalam hubungan para murid dengan uang. Dengan menggunakan gambaran yang kurang dikenal oleh pembaca modern, Yesus menunjukkan bahwa uang memiliki potensi untuk mengarahkan hati kita ke arah keserakahan dan kecemburuan. Mata yang tidak sehat atau serakah membuat seluruh jiwa menjadi gelap (6:22–24). Dia kemudian menggambarkan upaya untuk mengejar uang dan Tuhan sebagai pekerjaan yang mustahil untuk melayani dua tuan yang berbeda dan berlawanan. Hasilnya adalah kesetiaan kepada yang satu dan ketidaksetiaan kepada yang lain; tidak ada cara untuk benar-benar mencintai Tuhan dan kekayaan (6:24).

Dengan lebih jauh menjelaskan gagasan ini, Yesus membahas masalah kecemasan tentang uang dan segala hal yang dapat diberikannya kepada kita (6:25–34). Tentu saja, hidup sebagai manusia selalu penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan; sangat wajar untuk memiliki kekhawatiran tentang masa depan kita, anak-anak dan cucu-cucu kita, teman-teman, gereja, negara, dan dunia. Yesus tidak mengutuk kekhawatiran alamiah, atau menganjurkan kehidupan yang terpisah dan tanpa emosi. Namun, Ia menunjukkan bahwa ketika kita mencoba melayani Tuhan dan uang, hasilnya bukanlah keamanan dan sukacita yang kita harapkan. Ketika kita mencoba memenuhi kebutuhan diri sendiri sambil mengatakan bahwa kita percaya kepada Bapa, hasilnya bukanlah keamanan dan kedamaian yang kita kira akan diberikannya. Justru sebaliknya, sikap bimbang seperti ini menciptakan kecemasan. Kecemasan tentang uang dan segala hal yang dapat diberikannya kepada kita adalah hasil yang tak terelakkan dari upaya menjalani kehidupan yang terbagi antara masa kini dan masa depan yang dibayangkan. Perpecahan jiwa ini adalah kebalikan dari menjadi utuh (5:48) dan karena itu tidak akan menghasilkan kemakmuran, tetapi lebih banyak ketidakpastian.

Cara untuk menghindari usaha yang menimbulkan kecemasan ini dalam mengasihi Tuhan dan uang ada dua. Murid-murid Yesus harus secara sadar mengingat pemeliharaan dan pemeliharaan Bapa surgawi mereka, dan mereka harus mengarahkan kembali komitmen hati-hidup mereka terhadap kerajaan yang akan datang. 

Untuk mengingat pemeliharaan Bapa surgawi, kita tidak perlu melihat lebih jauh dari ciptaan itu sendiri. Burung tidak memiliki kemampuan untuk menanam di ladang, tetapi Allah menyediakannya bagi mereka (6:26). Bunga tidak memiliki kemampuan untuk menjahit pakaian, tetapi Allah menyediakannya bagi mereka (6:28–29). Anak-anak Allah jauh lebih berharga daripada burung yang terbang dan bunga yang layu. Karena itu, kita dapat yakin bahwa Allah akan menyediakan bagi kita. Kita harus secara sadar mengingatkan diri kita sendiri tentang pemeliharaan-Nya sebagai Bapa untuk menenangkan hati kita yang gelisah.

Pada akhirnya, kita juga harus secara sadar mengarahkan kembali energi, komitmen kalender, dan rekening bank kita kepada prioritas kerajaan Allah. Yesus mengundang para pengikutnya untuk "mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya" dengan janji bahwa saat kita melakukan ini, Allah akan menyediakan semua kebutuhan kita sehari-hari (6:33).

Dalam 7:1–6 Yesus terus mengajarkan kita bahwa murid-murid kerajaan adalah mereka yang dengan rendah hati menguji hati mereka dalam cara mereka menilai dan menghakimi orang lain. Membandingkan diri kita dengan orang lain dan mencoba untuk memperkuat identitas kita sendiri dengan mengkritik orang lain bukanlah jalan hidup atau kebenaran yang melampaui para ahli Taurat dan orang Farisi (5:20). Untuk mengarahkan kembali kita, Yesus memberikan peringatan yang serius bahwa cepat atau lambat, cara kita menilai orang lain akan berbalik kepada kita (7:1). Untuk menegaskan maksudnya, Yesus memberikan gambaran yang lucu tentang seseorang yang mencoba menghilangkan setitik debu dari mata orang lain sementara mereka memiliki balok besar yang mencuat dari mata mereka sendiri (7:1–5). Ini mengingatkan kita pada perumpamaan Yesus tentang hamba yang diampuni banyak dosanya tetapi kemudian menolak untuk mengampuni sesama hambanya (Matius 18:21–35). Murid-murid Yesus adalah orang-orang yang hidup dengan hikmat dalam cara mereka berinteraksi dengan orang lain (7:6) dan yang hidupnya ditandai oleh belas kasihan, kasih sayang, dan pengampunan (5:7, 9, 21–26, 43–48).

Untuk menyimpulkan bagian utama khotbah, Yesus menyampaikan kata-kata penghiburan dan dorongan yang besar kepada para murid-Nya tentang pemeliharaan Bapa surgawi yang penuh kasih karunia (7:7-11). Allah Bapa tidak seperti allah-allah lain di dunia kuno — tidak menentu, tidak dapat diandalkan, dan pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebaliknya, Dia adalah seorang bapa yang dengan sukacita, murah hati, dan sepenuh hati memberikan hadiah yang baik kepada anak-anak-Nya. Kita hanya perlu meminta.

Semua ajaran Yesus tentang hidup sepenuh hati dalam hubungan dengan barang-barang dan orang-orang di dunia (6:19–7:12) dapat diringkas dengan perkataan Yesus yang berkesan, “Dalam segala hal, lakukanlah kepada orang lain apa yang kamu ingin mereka lakukan kepadamu, karena ini adalah inti dari hukum Taurat dan kitab para nabi” (7:12). Yesus tidak datang untuk menghapuskan hukum Taurat dan kitab para nabi, tetapi untuk menggenapinya (5:17). Dia mendatangkan Perjanjian Baru dan pendefinisian ulang umat Allah sebagai semua orang yang mengikuti-Nya. Namun, Allah selalu melihat dan peduli tentang batin kita, hati kita. Allah ingin kita hidup dalam cara-cara kerajaan-Nya, tetapi kebenaran ini tidak boleh hanya eksternal, tetapi internal juga. Saat kita mencari kerajaan-Nya, kebenaran semacam ini melalui hubungan dengan Allah sebagai Bapa, kita akan mulai menemukan kemakmuran atau kebahagiaan yang Yesus bicarakan dalam 5:3–12.

Jadi apa pesan bimbingan dalam 6:19–7:12?

Masalah uang dalam kehidupan kita selalu sangat pribadi. Uang, kekayaan, dan hal-hal duniawi adalah kenyataan yang dihadapi setiap orang sampai taraf tertentu — dan sebagian besar orang mengalaminya juga. Seperti yang telah diamati, orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak terpengaruh oleh kekayaan itu seperti pecandu alkohol yang mengatakan bahwa ia dapat minum satu gelas lagi. Uang dan semua yang disediakannya bagi kita menyentuh masalah hati tentang keamanan, identitas, dan harga diri kita.

Yesus tidak malu untuk membahas hubungan kita dengan uang, dan itu wajar saja. Undangan-Nya untuk berkembang biak secara sejati melalui keutuhan mengharuskan kita untuk melihat ke dalam diri kita dan memerhatikan dengan tekun cara-cara yang membuat kita tergoda untuk menyimpan harta di bumi daripada di surga, cara-cara yang sering kali kita gunakan untuk melayani dua tuan sekaligus — Tuhan dan kekayaan. Hasil dari kehidupan yang terbagi ini bukanlah kedamaian, melainkan kecemasan. Jadi, murid yang dibimbing akan bersedia membiarkan Yesus berbicara dalam kehidupannya pada tingkat inti uang ini dan semua hal yang dijanjikannya untuk diberikan kepada kita, secara sadar dan terus-menerus mengarahkan kembali komitmen kita untuk “mencari dahulu Kerajaan Kebenaran-Nya” (6:33).

Begitu pula dalam hubungan kita dengan orang lain. Kejujuran di hati mengharuskan kita untuk memperhatikan semua cara kita menghakimi dan mengkritik orang lain. Menjadi murid yang dibimbing berarti menjadi orang yang tekun dalam melawan sikap kritis terhadap orang lain. Sebaliknya, kita dengan rendah hati berpaling kepada Tuhan sebagai Bapa dan meminta-Nya untuk menyingkirkan papan kita.

Keinginan Bapa bagi anak-anaknya adalah agar mereka menemukan kebebasan, kedamaian, dan kemakmuran dalam hubungan mereka dengan barang-barang dan orang-orang di dunia. Ini hanya akan terjadi saat kita membuka hati kita terhadap pekerjaan batin ini untuk membuat kita utuh.

Pertanyaan untuk Refleksi

  1. Bagaimana kecemasan tentang uang dan semua yang ditawarkannya terwujud dalam hidup Anda? Dalam hal apa Anda perlu lebih mengutamakan Kerajaan Allah?
  1. Mengapa kita mudah melihat kesalahan orang lain, tetapi tidak kesalahan kita sendiri? Bagaimana Anda dapat mengundang tanggung jawab ke dalam hidup Anda sehingga Anda dapat melihat berbagai "bintik" di mata Anda? 

Bagian V: Undangan Yesus untuk Hidup Penuh Hikmat dan Berkembang (7:13–27)

Seperti yang telah disebutkan di atas, Khotbah di Bukit disusun dalam tiga bagian — undangan untuk kemakmuran sejati dan shalom (5:3-16), tema utama tentang kebenaran sejati, yang berarti konsisten dalam tindakan dan hati kita (5:17-7:12), dan akhirnya, serangkaian undangan untuk menemukan kehidupan sejati (7:13-27). Bagian-bagian ini tidak terpisahkan. Semuanya dapat diringkas di bawah gagasan umum tentang Hikmat. Hikmat adalah kategori besar Alkitab untuk menggambarkan kehendak Tuhan bagi umat-Nya dan sarana yang dengannya kita menemukan shalom, kedamaian, dan kemakmuran. Hikmat digambarkan sebagai bersama Tuhan pada awalnya, mengundang semua orang untuk menemukan kehidupan melalui pengarahan ulang hidup mereka ke jalan Tuhan (Ams. 8:1-36). Dan akhirnya, hikmat menjadi pribadi — Yesus Kristus, Anak Allah yang berinkarnasi (1 Kor. 1:24; lihat juga Mat. 11:25-30).

Seluruh Khotbah di Bukit harus dianggap sebagai undangan menuju hikmat, seperti Kitab Amsal, Mazmur 1, Surat Yakobus, dan banyak bagian lain dari Alkitab. Jika sejauh ini hal ini belum jelas bagi pendengar khotbah, hal itu akan menjadi sangat jelas dalam kesimpulan Yesus. 

Biasanya, hikmat digambarkan sebagai kebalikannya, yaitu kebodohan. Hidup kita digambarkan sebagai jalan yang bercabang-cabang. Kita dapat memilih jalan kebodohan yang berujung pada kehilangan, kesedihan, dan kehancuran. Atau kita dapat memilih jalan hikmat yang berujung pada kehidupan, kemakmuran, dan kedamaian (lihat Mazmur 1 lagi).

Ajaran dan nasihat semacam ini yang bersifat “dua arah” dapat kita temukan dalam tiga bagian kesimpulan khotbah Yesus:

Kesimpulan Yesus: Bagian Satu

Pertama-tama, ia menggambarkan dua pintu gerbang dan dua jalan, yang satu kecil dan sulit dan yang satunya lebar dan mudah (7:13-14). Kecenderungan alami setiap orang adalah ke arah jalan yang mudah dan mulus, tetapi Yesus secara mengejutkan mengatakan bahwa jalan yang tampaknya lebih unggul ini sebenarnya menuntun kepada kebinasaan. Sebaliknya, jalan yang berbatu, tidak rata, dan sempit menuntun kepada kehidupan. Apakah jalan yang sempit dan sulit ini? Ini adalah cara hidup yang baru saja Yesus puji di seluruh pesannya — berusaha menjadi orang yang utuh daripada sekadar orang benar secara lahiriah. Ini adalah jalan yang lebih sulit karena mengharuskan membiarkan Tuhan melakukan pekerjaan yang menyingkapkan dan mengubah bukan hanya pada perilaku kita tetapi juga pada sikap kita, sikap jiwa kita terhadap Tuhan dan orang lain, hal-hal yang kita cintai dan benci — singkatnya, di dalam hati kita. Ini sulit dan menyakitkan. Tetapi pekerjaan jiwa semacam ini yang membuat kita utuh adalah satu-satunya cara untuk menemukan kehidupan dan kedamaian sejati.

Kesimpulan Yesus: Bagian Kedua

Contoh kedua dari Yesus tentang “dua arah” lebih panjang dan menambahkan unsur nuansa yang layak direnungkan (7:15-22). Gagasan besarnya adalah bahwa murid-murid yang bijaksana akan dapat membedakan tentang apa yang Allah hargai di antara umat-Nya. Kecenderungan manusiawi kita adalah menilai terlalu tinggi dan menghormati orang-orang yang karunia dan kekuatannya mencolok dan mengesankan secara lahiriah — yang digambarkan di sini sebagai bernubuat, mengusir setan, melakukan banyak mukjizat (7:22). Rasul Paulus membahas masalah yang sama dengan berbicara tentang potensi penyalahgunaan karunia-karunia dinamis lahiriah lainnya seperti berbicara dalam bahasa roh, bernubuat, menyembuhkan, kata-kata pengetahuan tanpa menjadi orang-orang yang penuh kasih (1 Kor. 12-14). Yang mengejutkan, Yesus menunjukkan bahwa dalam banyak kasus seperti itu, orang-orang yang tampaknya memiliki karunia tidak benar-benar mengenal Allah (7:23). Mereka adalah nabi-nabi palsu (7:15). Perbedaan antara nabi sejati dan palsu, kata Yesus, bukanlah pada manifestasi luar dari kekuatan yang mencolok (kita mungkin ingat bahwa para ahli sihir di istana Firaun mampu meniru beberapa kekuatan yang diberikan Tuhan kepada Musa, Kel. 7:8-13). Sebaliknya, nabi sejati adalah orang yang bagian dalamnya sesuai dengan bagian luarnya, yang perilakunya berasal dari hati yang baik. Seseorang dapat melakukan mukjizat yang tampak atas nama Kekristenan tetapi secara batin menjadi serigala daripada domba, seperti yang terlihat (7:15).

Dalam 7:16-20 Yesus mengulang ide kunci: bahwa Anda dapat mengenali jenis pohon berdasarkan jenis buah yang dihasilkannya. Pohon ara menghasilkan buah ara, bukan apel. Pohon yang sehat menghasilkan buah utuh, bukan buah yang sakit atau tidak berbuah. Sekilas ini tampaknya merupakan kebalikan dari apa yang Yesus katakan dalam paragraf ini! Dia baru saja menggambarkan seseorang yang kelihatannya seperti seekor domba dan tampaknya melakukan hal-hal baik tetapi sebenarnya adalah serigala. Jadi bagaimana kita bisa mengetahui apakah pohon itu baik atau buruk dari buahnya jika serigala dapat menghasilkan buah seperti domba? Di sinilah nuansa penting muncul. Gambar pohon mengingatkan kita bahwa terkadang butuh waktu untuk membedakan jenis pohon seseorang dan apakah pohon itu benar-benar sehat. Ketika tanaman pisang raja dan pisang tumbuh di hutan, Anda tidak dapat membedakannya sampai berbagai jenis buahnya mulai bertunas dan tumbuh. Baik pohon yang hidup maupun yang mati sering kali terlihat sama di musim dingin. Hanya di musim semi ketika satu pohon mulai berbunga, orang dapat mengetahui perbedaannya. Begitu pula dengan orang-orang di dunia. Cepat atau lambat buah sejati dan kesehatan sejati seseorang akan terungkap. Ini tidak akan datang melalui lebih banyak contoh kebenaran eksternal — tindakan kesalehan yang besar, kepatuhan terhadap Hukum, atau bahkan kekuatan ajaib. Sebaliknya, murid sejati dapat dikenali dengan melihat masalah di tingkat hati. Cara-cara yang Yesus berikan adalah hal-hal yang pertama-tama menyangkut hati — kasih, belas kasihan, belas kasihan, kerendahan hati, kesetiaan, tidak dipenuhi hawa nafsu, keserakahan, kedengkian, kebencian, dan kesombongan. Cepat atau lambat sifat-sifat karakter ini, atau kekurangannya, akan terungkap dan akan menunjukkan seperti apakah pohon seseorang sebenarnya.

Kesimpulan Yesus: Bagian Tiga

Undangan “dua arah” ketiga dan terakhir menuju hikmat ditemukan dalam 7:24–27. Gambaran yang Yesus gunakan untuk menyimpulkan khotbahnya yang paling terkenal melukiskan gambaran tentang dua cara berbeda orang mungkin menanggapi pesannya. Mereka dapat dijelaskan dengan istilah yang jelas dan tidak salah lagi: orang bodoh dan orang bijak. Kedua orang ini digambarkan sedang membangun rumah, yang dengan jelas menggambarkan kehidupan mereka (lihat Ams. 8:1, di mana Hikmat digambarkan sedang membangun rumahnya). Mengingat tema hikmat yang konsisten di seluruh Alkitab, keadaan akhir dari kedua jenis orang yang berbeda ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Rumah orang bodoh dibangun di atas pasir, sehingga hanyut dalam banjir badai yang tiba-tiba. Sebaliknya, rumah orang bijak dibangun di atas batu sehingga, meskipun ada angin dan ombak besar, rumah itu tidak runtuh.

Apa artinya ini? Yesus menjelaskan bahwa perbedaan antara orang bodoh dan orang bijak adalah tentang tanggapan pribadi kepada-Nya. Dalam kedua kasus tersebut, orang tersebut mendengar ajaran Yesus, sama seperti yang kita lakukan sekarang saat kita membaca ayat-ayat ini. Namun, perbedaan antara orang bodoh dan orang bijak terletak pada tanggapannya. Orang bodoh mendengar perkataan Yesus dan tidak melakukan apa pun terhadapnya. Orang bijak mendengar perkataan Yesus dan mencamkannya dengan bertobat, beralih dari satu cara melihat dan berada di dunia ini ke cara kerajaan. Dalam suratnya, Yakobus merenungkan perkataan Yesus dan menggambarkan orang bodoh seperti orang yang melihat ke cermin lalu pergi dan segera lupa bagaimana rupanya (Yakobus 1:23–24). Ini adalah penipuan diri sendiri (Yakobus 1:22). Sebaliknya, orang bijak mendengar perkataan Yesus dan melakukan apa yang Dia katakan. Yakobus menggambarkan orang ini sebagai “orang yang meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan bertekun di dalamnya, jadi bukan pendengar yang melupakannya, tetapi pelaku yang melakukannya.” Orang ini akan “diberkati” atau bertumbuh subur (Yakobus 1:25). Perhatikan bahwa perbedaan antara kedua rumah itu tidak dapat dilihat dengan berfokus pada penampilan luar. Kedua rumah itu tampak hebat. Perbedaan mendasarnya terletak pada fondasi yang tersembunyi, atau ketiadaan fondasi.

Jadi apa pesan bimbingan dalam 7:13–27? 

Inti utama khotbah tersebut adalah sebuah nasihat untuk menjadi utuh, untuk mengejar kebenaran yang lebih dari sekadar permukaan. Untuk menegaskan inti ini, Yesus memberi kita tiga gambaran yang mudah diingat: jalan yang lebar dan sempit, nabi yang benar dan yang palsu, tukang bangunan yang bijak dan yang bodoh. Dalam setiap kasus, masalahnya sama — hati yang ada di dalam adalah yang terpenting, bukan hanya penampilan luar. Murid yang dibimbing adalah orang yang mendengar undangan Yesus untuk hidup di jalan yang lebih sulit, jalan transformasi di tingkat hati. Lebih mudah untuk berfokus pada perilaku eksternal karena ini tampaknya lebih dapat dikendalikan dan tidak terlalu mengganggu. Namun, Yesus menjelaskan bahwa ini sebenarnya bukanlah hikmat. Ini adalah jalan lebar yang mengarah pada kehancuran. Ini adalah jalan promosi diri dengan keterampilan dan kekuatan yang mencolok yang menunjukkan bahwa seseorang tidak benar-benar mengenal Tuhan. Ini adalah jalan orang bodoh, membangun tembok dan atap untuk rumah yang akan runtuh dengan membawa malapetaka ketika pencobaan dan kesulitan serta penghakiman terakhir datang. Murid yang dibimbing mendengar perkataan Yesus ini dan berpaling dari jalan yang bodoh sehingga ia dapat menemukan kehidupan yang layak dijalani sekarang dan selamanya.

Diskusi & Refleksi:

  1. Sikap hati apa yang perlu dibentuk oleh Yesus agar lebih selaras dengan kebijaksanaannya? 
  1. Bagaimana Anda bertumbuh dalam memiliki hati yang merindukan Tuhan dan kerajaan-Nya? 

Kesimpulan: Kata Terakhir

Tidak sulit untuk melihat mengapa Khotbah Yesus di Bukit terus menjadi pusat dari semua pemahaman dan kehidupan Kristen. Kata-kata Yesus mudah diingat, membuka mata, dan menantang. Kata-kata itu sekaligus mendalam dan praktis, teologis dan pastoral. 

Betapapun kita berusaha menghindari pesan mereka yang menusuk, siapa pun yang membaca Khotbah itu dengan sungguh-sungguh akan memperoleh kesadaran yang lebih besar akan kehancuran mereka dan kecenderungan untuk hidup seperti orang Farisi — senang berfokus pada perilaku mengendalikan daripada melihat hati mereka.

Memang sulit untuk menerima pesan Yesus, meskipun pernyataannya jelas bahwa kita harus memiliki kebenaran seutuhnya ini atau kita akan menunjukkan diri kita bukan untuk menjadi bagian dari kerajaannya yang akan datang, bukan di jalan menuju kehidupan, bukan orang bijak yang rumahnya berdiri dalam penghakiman. Sulit karena bahkan orang yang paling saleh dan dewasa, jika mereka jujur, akan tetap melihat banyak momen nafsu, keinginan, keserakahan, iri hati, kebencian, kecemasan, cinta uang, keinginan untuk dipuji orang lain, dan motif yang tidak murni dalam hati mereka. Apa yang kita lakukan ketika kita melihat ke dalam dan melihat bahwa hati kita jarang sekali atau bahkan tidak pernah sesuai dengan perilaku kita? Apakah ini berarti tidak seorang pun akan diselamatkan?

Jawaban atas pertanyaan krusial ini dapat diperoleh dengan membaca Injil Matius secara keseluruhan. Kita diingatkan bahwa Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka (1:21) dengan mati bagi kita dan membuat perjanjian baru antara Allah dan manusia yang didasarkan pada pengorbanan penebusan Yesus (26:27-29). Yesus senantiasa memandang kita dengan belas kasihan (9:36). Allah adalah Bapa kita dan dengan senang hati memberi kepada kita. Kita harus meminta saja (7:7-11). Dan kita kembali kepada kata-kata penuh kuasa dari Yesus sendiri dari 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Setiap kali kita mempelajari keterampilan apa pun — mengendarai mobil, bermain golf, belajar bahasa, dll. — kita tersandung, salah langkah, dan berjuang. Begitu pula dengan belajar mengikuti Yesus. Murid-murid Yesus yang pertama dan setiap murid di setiap tempat selama 2000 tahun terakhir telah tersandung, berjuang, dan sering gagal. Seperti inilah bentuk bimbingan yang jujur. Dengan mengingat kebaikan dan kemurahan hati Tuhan, kita dapat dengan yakin dan tidak sempurna menerima undangan Yesus untuk "pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari padanya, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan" (11:29).

Biografi

Dr. Jonathan Pennington (PhD, Universitas St. Andrews, Skotlandia) telah menjadi profesor Perjanjian Baru di Southern Seminary selama hampir 20 tahun. Ia juga telah melayani dalam pelayanan pastoral selama 30 tahun, saat ini sebagai salah satu pendeta pengajar di Sojourn East di Louisville, KY. Ia adalah penulis banyak buku tentang Injil, cara menafsirkan Alkitab, dan khotbah. Informasi lebih lanjut dan banyak sumber daya dari Dr. Pennington dapat ditemukan di www.jonathanpennington.com.