Langsung ke konten utama

Membesarkan Anak yang Bertanggung Jawab dan Taat pada Tuhan

Oleh Christian Lingua

Bahasa inggris

album-art
00:00

Spanyol

album-art
00:00

Daftar isi

  1. Perkenalan
  2. Memahami Rencana Tuhan dalam Mengasuh Anak
  3. Mengapa Orang Tua Harus Menjadi Pemimpin Rohani
  4. Mengasuh Anak sebagai Panggilan, Bukan Sekadar Tanggung Jawab
  5. Keseimbangan Antara Cinta dan Disiplin
  6. Mengapa Tanggung Jawab Itu Penting
  7. Menumbuhkan Tanggung Jawab melalui Cinta dan Disiplin
  8. Apa Artinya Membesarkan Anak di Dalam Tuhan?
  9. Menanamkan Nilai-Nilai dan Karakter Alkitabiah
  10. Membangun Karakter Yang Tahan Lama
  11. Mengajarkan Anak-Anak Integritas, Kebaikan, dan Kejujuran
  12. Kebaikan: Mengasihi Sesama Seperti Yesus
  13. Integritas: Melakukan Hal yang Benar, Bahkan Saat Tak Ada yang Melihat
  14. Menghayati Nilai-Nilai Alkitabiah dalam Kehidupan Sehari-hari
  15. Memimpin dengan Memberi Teladan: Mencontohkan Perilaku Seperti Kristus
  16. Kekuatan Teladan dalam Mengasuh Anak
  17. Apa Artinya Meniru Perilaku Seperti Kristus?
  18. Hidup Sebagai Teladan Kristus
  19. Disiplin, Koreksi, dan Dorongan
  20. Menyeimbangkan Disiplin dengan Kasih Karunia
  21. Perbedaan Hukuman dan Disiplin
  22. Cara Praktis Mendisiplinkan dengan Anggun
  23. Dorongan: Sisi Lain dari Disiplin
  24. Yesus: Teladan Sempurna Disiplin dan Kasih Karunia
  25. Membesarkan Anak dalam Kasih dan Kebenaran
  26. Mengajarkan Akuntabilitas dan Konsekuensinya
  27. Mengapa Akuntabilitas Penting dalam Mengasuh Anak
  28. Landasan Alkitabiah Mengenai Akuntabilitas
  29. Cara Mengajarkan Akuntabilitas dan Konsekuensi
  30. Membesarkan Anak yang Bertanggung Jawab
  31. Mempersiapkan Anak-Anak untuk Kehidupan Beriman
  32. Iman yang Bertahan Seumur Hidup
  33. Tujuannya: Iman yang Pribadi dan Mandiri
  34. Membantu Anak-Anak Mengembangkan Iman Mereka Sendiri di Dalam Kristus
  35. Iman yang Melampaui Masa Kanak-kanak
  36. Mengapa Anak-Anak Perlu Mengembangkan Iman Mereka Sendiri
  37. Cara Membantu Anak-Anak Membangun Hubungan Pribadi dengan Kristus
  38. Dorongan Terakhir

Perkenalan

Mengasuh anak memberi Anda kebahagiaan terbesar, tetapi juga merupakan tanggung jawab yang paling menantang. Ini menentukan bagaimana hati, pikiran, dan masa depan anak-anak Anda dibentuk. Sebagai orang tua, kita ingin anak-anak kita menjadi orang yang sukses, saleh, dan bertanggung jawab. Namun dengan semua gangguan dan tekanan zaman modern, tugas ini bisa menjadi sangat berat.

Banyak orang tua bertanya-tanya:

  • Bagaimana saya bisa menjadi ayah saleh yang menuntun anak-anak saya berjalan mengikuti Tuhan di dunia yang mengabaikan Tuhan?
  • Bagaimana saya menanamkan tanggung jawab dan karakter ketika begitu banyak pengaruh yang menghambat kualitas tersebut?
  • Seperti apa sebenarnya pola asuh menurut Alkitab?

Kabar baiknya adalah kita tidak harus menyelesaikan semuanya sendirian. Tuhan telah menyediakan Firman-Nya untuk membimbing kita dan telah memanggil kita untuk melatih anak-anak kita dalam hikmat dan kebenaran-Nya. Amsal 22:6 mengingatkan kita:

“Ajarilah anak-anakmu untuk mengikuti jalan yang seharusnya, dan sekalipun mereka sudah tua, mereka tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Ayat ini membantu kita memahami bahwa berfokus pada pertumbuhan rohani anak-anak kita membantu mereka tumbuh dalam jangka panjang.

Jadi, apa yang harus kita lakukan dengan kebenaran ini? Di sinilah peran pengasuhan yang disengaja. Membesarkan anak-anak yang saleh tidak terjadi secara kebetulan—itu membutuhkan ketergantungan yang penuh doa, hikmat Alkitab, bimbingan yang konsisten, dan hati yang bertekad untuk menuntun anak-anak kita kepada Kristus.

Memahami Rencana Tuhan dalam Mengasuh Anak

Ayat Kunci: Amsal 22:6
“Ajarilah anak-anakmu untuk mengikuti jalan yang seharusnya, dan sekalipun mereka sudah tua, mereka tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

Mengapa Orang Tua Harus Menjadi Pemimpin Rohani

Mengasuh anak bukan hanya tentang memberi makan, pakaian, dan keamanan bagi anak-anak kita. Sebagai orang tua, Tuhan telah memberi kita tanggung jawab yang jauh lebih penting—menjadi pemimpin rohani bagi anak-anak kita.

Di zaman sekarang, banyak orang tua yang terlalu fokus untuk memberikan pendidikan terbaik, kegiatan ekstrakurikuler terbaik, dan prospek terbaik untuk meraih kesuksesan bagi anak-anak mereka. Hal-hal ini penting, tetapi yang terpenting adalah membentuk hati mereka untuk Kristus. Cara kita meletakkan dasar ini di masa muda mereka menentukan mereka akan menjadi orang dewasa.

Amsal 22:6 mengajarkan kita untuk "mendidik anak-anak di jalan yang seharusnya." Ini berarti bahwa cara kita membesarkan mereka — apa yang kita ajarkan kepada mereka, bagaimana kita menunjukkan iman kepada mereka, nilai-nilai apa yang kita bantu mereka bangun — akan melekat pada mereka untuk waktu yang lama.

Namun, inilah kenyataannya: Kita tidak membesarkan anak-anak saleh secara kebetulan. Itu dimulai dengan niat yang sungguh-sungguh, doa, dan komitmen untuk membimbing mereka ke jalan Tuhan.

Kabar baiknya? Tuhan tidak mengharapkan Anda melakukannya sendirian. Dia telah menyediakan Firman-Nya sebagai kompas dan Roh-Nya untuk memberdayakan kita dalam panggilan ini.

Mengasuh Anak sebagai Panggilan, Bukan Sekadar Tanggung Jawab

Banyak orang tua yang merasa beban mengasuh anak tidak tertahankan. Ada kalanya kita tidak begitu sabar; ada kalanya kita ragu; di hari lain, kita mempertanyakan usaha kita. Namun, mengasuh anak lebih dari sekadar tanggung jawab; hal itu disikapi sebagai amanat ilahi.

Dalam Ulangan 6:6-7, Allah memerintahkan para orangtua: "Perintah-perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, haruslah engkau perhatikan. Hendaklah engkau menanamkannya dalam hati anak-anakmu. Bicarakanlah semuanya itu, ketika engkau duduk di rumah, ketika engkau dalam perjalanan, ketika engkau berbaring di tempat tidur, dan ketika engkau bangun."

Bagian ini mengingatkan kita bahwa mengasuh anak membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh setiap hari. Ini lebih dari sekadar membawa anak-anak kita ke gereja pada hari Minggu atau membacakan mereka cerita Alkitab sebelum mereka tidur. Ini tentang mengintegrasikan iman ke dalam semua aspek kehidupan — apa yang kita bicarakan di meja makan, bagaimana kita menanggapi kesulitan, bagaimana kita memperlakukan orang lain, apa yang kita prioritaskan sebagai sebuah keluarga.

Anak-anak kita selalu mendengarkan. Mereka melihat bagaimana kita menangani tekanan, bagaimana kita memperlakukan pasangan kita, bagaimana kita mengatasi rintangan, dan apakah kita benar-benar mempraktikkan apa yang kita ajarkan.

Ketika kita memahami peran sebagai orang tua sebagai panggilan yang diberikan Tuhan, kita melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda. Tujuannya bukan hanya untuk membesarkan anak-anak yang baik, tetapi juga untuk membesarkan pengikut Tuhan yang kuat dalam iman mereka, yang juga akan mereka bawa hingga dewasa.

Ayat Kunci: Efesus 6:4
“Hai ayah, janganlah membuat anak-anakmu kesal, tetapi didiklah mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”

Keseimbangan Antara Cinta dan Disiplin

Ada batasan tipis yang harus diperhatikan dalam mengasuh anak. Di satu sisi, kita ingin mencintai anak-anak kita, membesarkan mereka, dan memotivasi mereka. Di satu sisi, kita memahami bahwa disiplin diperlukan untuk melatih mereka menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan saleh. Jadi, bagaimana kita mencapai keseimbangan antara cinta dan disiplin?

Ketegasan tanpa kasih sayang hanya akan melahirkan kemarahan dan pemberontakan. Jika Anda tidak tahu cara menghukum anak-anak Anda dengan baik, mereka akan tumbuh dengan perasaan berhak dan tidak bertanggung jawab. Rancangan Tuhan untuk mengasuh anak adalah keduanya — kasih sayang dan teguran, yang bekerja sama untuk membentuk hati seorang anak.

Efesus 6:4 mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk mendidik anak-anak kita dalam ajaran dan petunjuk Tuhan. Kita harus mengajarkan mereka bukan hanya aturan tentang yang benar dan yang salah, tetapi juga kehidupan yang dijalani untuk menghormati Tuhan.

Disiplin Alkitabiah bukanlah pengendalian—melainkan bimbingan. Disiplin Alkitabiah adalah tentang mengajarkan anak-anak tentang konsekuensi tindakan mereka, belajar mengendalikan diri, dan bertanggung jawab atas keputusan mereka.

Bergabunglah bersama kami dalam mengeksplorasi bagaimana mengajarkan tanggung jawab kepada anak-anak kita melalui kasih sayang dan disiplin dapat memuliakan Tuhan dan membangun karakter anak-anak kita.

Mengapa Tanggung Jawab Itu Penting

Tuhan menciptakan kita dengan rasa tanggung jawab, dengan mempertimbangkan tindakan, perkataan, dan cara kita memperlakukan orang lain. Anak-anak perlu tahu bahwa pilihan mereka memiliki konsekuensi sejak usia dini dan bahwa bertanggung jawab bukanlah beban, melainkan hak istimewa.

Cara Alkitab mengajarkan kita untuk bertanggung jawab:

  • “Siapa yang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2 Tesalonika 3:10) – Ayat ini mengajarkan kita tentang nilai kerja keras.
  • “Setiap orang di antara kamu harus memikul tanggung jawabnya sendiri.” (Galatia 6:5) – Ayat ini mengajarkan bahwa kita masing-masing bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan kita sendiri.
  • “Barangsiapa dapat dipercaya dalam hal yang kecil, ia dapat dipercaya dalam hal yang besar.” (Lukas 16:10) – Ayat ini mengajarkan kita bahwa tanggung jawab memberi kita kesempatan yang lebih besar.

Merupakan tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk mengajarkan anak-anak kita tentang tanggung jawab. Tidak hanya dalam menyelesaikan tugas sehari-hari, tetapi juga dalam hal iman, hubungan, dan keputusan.

Menumbuhkan Tanggung Jawab melalui Cinta dan Disiplin

Menetapkan aturan bukan berarti mengajarkan tanggung jawab. Ini berarti menumbuhkan kesadaran anak-anak untuk memahami pentingnya tanggung jawab, bukan sekadar mengikuti serangkaian aturan.
Berikut adalah beberapa cara praktis untuk mengajarkan tanggung jawab melalui cinta dan disiplin:

1. Tetapkan Harapan dan Konsekuensi yang Jelas
Anak-anak akan lebih baik jika mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka. Karena aturannya jelas dan lugas, anak-anak akan lebih mudah cemas dan bertanggung jawab pada saat yang sama. Sampai batas tertentu, mengabaikan tanggung jawab bukanlah suatu pilihan.
Ketidakjelasan bukanlah jawabannya; daripada “Bersikaplah baik,” cobalah “Bersikaplah baik kepada saudaramu,” atau “Rapikan mainanmu setelah bermain.”
Berikan konsekuensi – Jika seorang anak tidak menyelesaikan tugas, biarkan mereka menghadapi konsekuensi yang wajar. Tujuan Anda bukanlah untuk menghukum mereka, tetapi untuk mengajarkan mereka tanggung jawab dengan cara yang membantu mereka berkembang.

2. Disiplin dengan Kasih Sayang, Bukan Amarah
Disiplin bukanlah tentang menanamkan rasa takut pada anak-anak — tetapi tentang menuntun mereka menuju kebijaksanaan.
Amsal 13:24 memberi tahu kita: “Siapa sayang pada tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anak-anaknya, menghajar mereka pada waktunya.”
Ayat ini tidak mendukung disiplin yang keras atau kejam; sebaliknya, ayat ini menggarisbawahi koreksi yang penuh kasih. Orang tua yang penuh kasih tidak akan mengabaikan perilaku buruk tetapi akan mengarahkan Anda kembali ke jalan yang benar sehingga Anda dapat belajar dari kesalahan Anda tanpa merasa buruk tentang diri Anda sendiri.
Jika Anda marah, berdoalah sebelum menghadapi situasi tersebut. Jelaskan juga mengapa aturan tersebut diberlakukan. Daripada hanya mengatakan "tidak." Selalu perbaiki hubungan. Setelah mendisiplinkan anak, ingatkan mereka bahwa mereka dicintai dan dihargai.

3. Berikan Tanggung Jawab yang Sesuai Usia
Tanggung jawab harus diperoleh, dan dengan itu datanglah tanggung jawab untuk tidak mengambil tugas yang termasuk dalam kategori di luar keterampilan seorang anak.
Balita (usia 2 hingga 4 tahun): Merapikan mainan, membantu menata meja.
Anak-anak prasekolah (usia 3–6): Merapikan tempat tidur, memberi makan hewan peliharaan, membersihkan piring.
Anak-anak yang lebih besar (usia 9 hingga 12): Mencuci pakaian, memasak makanan sederhana, mengelola uang saku.
Remaja: Menyeimbangkan keuangan mereka, membantu pekerjaan keluarga dan belajar bagaimana mengatur waktu mereka.
Tanggung jawab nyata yang diberikan kepada anak-anak mengajarkan kemandirian dan tanggung jawab pada tingkat yang dapat mereka capai.

4. Ciptakan Peluang Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
Membiarkan anak-anak memecahkan masalah sendiri adalah salah satu cara terbaik untuk mengajarkan tanggung jawab. Daripada menyelesaikan semuanya untuk mereka, katakan, "Menurutmu apa yang harus kamu lakukan?" Biarkan mereka menghadapi konsekuensi alami dari keputusan yang buruk (sampai pada titik tertentu). Puji usaha mereka saat mereka membuat keputusan yang bijak. Dengan melatih alih-alih mengendalikan, kita mempersiapkan mereka untuk tanggung jawab dalam kehidupan nyata.

5. Jadilah Teladan Tanggung Jawab dalam Kehidupan Anda Sendiri
Kita harus menjadi panutan bagi anak-anak kita. Jika kita ingin mereka belajar bertanggung jawab, kita harus terlebih dahulu menerapkannya dalam kehidupan kita sendiri. Ketika anak-anak melihat tindakan yang baik, mereka cenderung menirunya.

Apa Artinya Membesarkan Anak di Dalam Tuhan?

Untuk membesarkan anak yang bertanggung jawab, Anda tidak perlu mengajarkan mereka perilaku yang baik; Anda perlu membimbing dan mendorong mereka untuk mengikuti Yesus.

Efesus 6:4 mengingatkan kita: “Didiklah mereka dalam pelatihan dan petunjuk Tuhan.”

Versi ini memberi tahu kita bahwa tanggung jawab tidak melibatkan tugas dan disiplin, tetapi sebaliknya mengajarkan anak untuk berdoa kepada Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.

Apa yang akan kita bicarakan:

  • Definisi “membesarkan anak dalam Tuhan.”
  • Bagaimana masalah disiplin dapat menjadi momen pengajaran yang menunjukkan kasih dan anugerah Tuhan?
  • Apa saja tantangan yang dihadapi orang tua saat menyeimbangkan kasih sayang dengan disiplin?
  • Bagaimana kita dapat membantu anak-anak kita untuk memiliki iman mereka sendiri?

Ini adalah perjalanan yang penuh tantangan tetapi juga memuaskan.
Meluangkan waktu untuk mengajarkan tanggung jawab menggunakan kasih sayang dan disiplin tidak hanya membentuk anak-anak yang baik tetapi juga orang dewasa yang saleh yang akan menerapkan iman dan kebijaksanaan dalam kehidupan mereka sendiri.
Tuhan telah mempercayakan hati anak-anakmu kepadamu.
Setiap koreksi, setiap pelajaran, setiap momen dorongan adalah menanam benih yang akan tumbuh pada waktunya.
Minggu ini, luangkan waktu untuk berdoa mengenai pola asuh Anda. Mintalah hikmat dari Tuhan untuk mengajarkan tanggung jawab dengan kasih sayang. Selain itu, mintalah kesabaran dan disiplin dengan cara yang mencerminkan kasih karunia-Nya. Terakhir, berdoalah memohon kekuatan untuk memimpin dengan memberi contoh.
Ingatlah bahwa kesetiaan Anda akan berdampak besar pada generasi mendatang. Oleh karena itu, Anda perlu tetap berkomitmen, berdoa, dan mempercayakan hidup anak Anda kepada Tuhan.
“Ajarkanlah anak-anakmu pada jalan yang seharusnya, dan sampai mereka tua nanti, mereka tidak akan menyimpang dari padanya.” – Amsal 22:6

Menanamkan Nilai-Nilai dan Karakter Alkitabiah

Ayat Kunci: Ulangan 6:6-7
“Perintah-perintah yang Aku berikan kepadamu hari ini haruslah ada di dalam hatimu. Tanamkanlah pada anak-anakmu. Bicarakanlah tentang perintah-perintah itu ketika kamu duduk di rumah, ketika kamu berjalan di sepanjang jalan, ketika kamu berbaring, dan ketika kamu bangun.”

Membangun Karakter Yang Tahan Lama

Setiap orang tua ingin mendidik anak-anaknya menjadi anak yang lembut, jujur, dan berkarakter. Kita ingin mereka memiliki pertimbangan yang baik, bersikap sopan, dan akhirnya menjadi pribadi yang menghormati Tuhan dalam segala usaha mereka. Bagaimana kita dapat menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dalam masyarakat yang lebih mengutamakan prestasi daripada kebajikan?

Jawabannya adalah melalui pengajaran dan pemodelan.

Menurut Ulangan 6:6-7, kita harus mengajarkan perintah-perintah Tuhan kepada anak-anak kita, tidak hanya pada hari Minggu di gereja tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kebaikan hati, integritas, dan kejujuran tidak lagi hanya sekadar kata-kata ketika kita mengajarkannya melalui ucapan dan perbuatan.

Menanamkan karakter yang baik pada anak berarti menemukan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang menggerakkan hati mereka. Bukan memberi mereka daftar harapan yang harus dipatuhi. Karakter tersebut dipupuk, diperbaiki, didorong, dan, yang terpenting, dibentuk oleh orang dewasa.

Mari kita cari tahu apa saja yang dibutuhkan untuk membesarkan anak-anak dengan rasa hormat terhadap agama Kristen dan kemauan untuk memeluk iman dan moralitas.

Mengajarkan Anak-Anak Integritas, Kebaikan, dan Kejujuran

Sangatlah penting bagi kita untuk mengajarkan kejujuran kepada anak-anak sebagai sebuah nilai. Menjadi jujur sangatlah penting karena kejujuran membangun hubungan yang didasarkan pada kepercayaan, integritas, dan hubungan yang kuat. Tanpa kejujuran, bahkan niat terbaik pun dapat menjadi tidak berarti.
Alkitab dengan jelas menyatakan pentingnya kebenaran:
“Tuhan membenci bibir dusta, tetapi orang yang dapat dipercaya akan disenangi-Nya.” (Amsal 12:22)
“Siapa berlaku jujur, aman jalannya, tetapi siapa menempuh jalan yang berliku-liku, akan ketahuan.” (Amsal 10:9)
Mengajarkan Kejujuran:

Agar anak-anak dapat mengembangkan kejujuran, mereka harus terlebih dahulu belajar dari orang tua mereka. Jika Anda melakukan kesalahan, akui saja, dan jika ada sesuatu yang tidak Anda ketahui, sampaikan dengan jujur. Ketika seorang anak mengatakan kebenaran, tidak peduli betapa sulitnya, hargai kejujuran mereka dan beri tahu mereka bahwa itu adalah hal terbaik yang dapat dilakukan. Ajari anak-anak Anda bahwa berbohong dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan orang lain. Ceritakan bagaimana menipu seseorang mungkin tampak sederhana, tetapi itu menciptakan lebih banyak kerumitan. Anda juga dapat membahas ayat-ayat Alkitab tentang kebohongan dan kebenaran dan menjelaskan mengapa hal itu sangat penting bagi Tuhan. Ketika anak-anak mulai memahami bahwa kejujuran membangun kepercayaan dan menuntun pada kebebasan, mereka akan mengembangkan kebiasaan positif yang akan membimbing mereka seumur hidup.

Kebaikan: Mengasihi Sesama Seperti Yesus

Di dunia yang mungkin tampak tidak baik, kebaikan Kristus adalah ekspresi paling kuat dari kehidupan-Nya di bumi. Kebaikan Kristus lebih dari sekadar kesopanan; kebaikan Kristus melibatkan pilihan untuk mengasihi dan melayani orang lain dengan sukarela, apa pun risikonya.

Kita diperintahkan dalam Alkitab untuk bersikap baik:
“Hendaklah kamu ramah terhadap orang lain, penuh kasih sayang dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:32)
“Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.” (Lukas 6:31)
Mengajarkan Kebaikan:
Pastikan anak-anak Anda menyaksikan kebaikan Anda – berbicara dengan sopan kepada orang lain, bersabar, dan membantu ketika tidak ada yang membutuhkan bantuan. Tantang anak-anak Anda untuk mencari tindakan baik yang dapat mereka lakukan – membantu saudara kandung, menghibur teman, atau mengucapkan kata-kata manis kepada seseorang yang merasa kesepian. Jika seorang anak bersikap kasar atau egois, jadikan itu sebagai momen pembelajaran. Tanyakan kepada mereka, “Bagaimana perasaanmu jika seseorang memperlakukanmu seperti itu?” sehingga mereka dapat mulai merenungkan masalah tersebut. Di dalam keluarga, putuskan bagaimana bersikap baik sebagai sebuah kelompok, seperti menulis pesan yang membangkitkan semangat, membantu tetangga, atau menjadi perantara bagi orang lain. Tidak seperti tindakan, kebaikan lebih dalam dan lebih mendalam. Ketika kita membimbing anak-anak kita untuk mengasihi seperti yang Yesus lakukan, kita membekali mereka dengan kemampuan untuk berbuat baik dan secara positif mengubah masyarakat tempat mereka tinggal.

Integritas: Melakukan Hal yang Benar, Bahkan Saat Tak Ada yang Melihat

Integritas adalah memilih apa yang benar, bahkan ketika itu mungkin menyusahkan. Memiliki disiplin moral yang mengarahkan pengambilan keputusan seseorang, bukan karena ada kemungkinan hukuman, tetapi karena melakukan hal yang benar membutuhkan komitmen.
Integritas ditekankan berkali-kali dalam kitab suci:
“Orang jujur dituntun oleh kejujurannya, tetapi orang yang tidak setia akan binasa karena tipu dayanya.” (Amsal 11:3)
“Karena itu, jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” (1 Korintus 10:31)
Mengajarkan Integritas:
Jika mereka mengatakan akan melakukan sesuatu, dorong mereka untuk menindaklanjutinya. Integritas dimulai dengan komitmen kecil. Ketika mereka melihat ketidakjujuran atau ketidakadilan, ajari mereka untuk mengatakan kebenaran dengan kasih. Ketika mereka melakukan kesalahan, bimbing mereka untuk bertanggung jawab daripada membuat alasan atau menyalahkan orang lain. Perhatikan ketika anak Anda membuat pilihan yang tepat, bahkan ketika itu sulit, dan tegaskan keputusan mereka. Integritas adalah jati diri kita ketika tidak ada yang melihat. Ketika anak-anak belajar menghargai integritas, mereka akan membuat pilihan bijak yang menghormati Tuhan, bahkan ketika itu tidak mudah.

Menghayati Nilai-Nilai Alkitabiah dalam Kehidupan Sehari-hari

Menanamkan karakter saleh bukan tentang melakukan satu percakapan besar—tetapi tentang pengajaran harian yang konsisten.
Ulangan 6:6-7 memberi kita instruksi yang sederhana namun penuh kuasa: ”Bicarakanlah semuanya itu, apabila engkau duduk di rumah, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun.”
Ini berarti bahwa mengajarkan kejujuran, kebaikan, dan integritas tidak terbatas pada waktu belajar Alkitab. Hal ini terjadi:
Di meja makan – Berbicara tentang nilai-nilai melalui contoh kehidupan nyata.
Dalam perjalanan ke sekolah – Mendorong kebaikan terhadap teman sekelas.
Selama disiplin – Mengajarkan tanggung jawab alih-alih hanya menghukum perilaku buruk.
Di saat kegagalan – Menunjukkan keanggunan dan membimbing mereka menuju pilihan yang lebih baik.
Iman dan karakter dibangun setiap saat—dalam hal-hal biasa sehari-hari dalam kehidupan.

Memimpin dengan Memberi Teladan: Mencontohkan Perilaku Seperti Kristus

Ayat Kunci: 1 Korintus 11:1
“Ikuti teladanku, seperti aku mengikuti teladan Kristus.”

Kekuatan Teladan dalam Mengasuh Anak

Anak-anak selalu memperhatikan. Mereka mendengarkan apa yang kita katakan, tetapi lebih dari itu, mereka mengamati apa yang kita lakukan. Dari cara kita menangani stres hingga cara kita memperlakukan orang lain, anak-anak kita belajar dengan mengamati kita menjalani kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang tua Kristen, salah satu cara terpenting untuk mengajar anak-anak kita adalah dengan mencontohkan perilaku seperti Kristus. Kita tidak dapat mengharapkan mereka untuk mengembangkan iman, kebaikan, kesabaran, dan integritas yang kuat jika mereka tidak melihatnya dalam diri kita terlebih dahulu.
Paulus memahami hal ini ketika ia berkata kepada jemaat Korintus, “Ikutlah teladanku, seperti aku mengikuti teladan Kristus.” (1 Korintus 11:1). Ia tidak mengatakan bahwa ia sempurna—ia mengatakan bahwa hidupnya sengaja berpusat pada Kristus. Itulah contoh yang harus kita berikan kepada anak-anak kita.
Sebenarnya, kita tidak perlu menjadi orangtua yang sempurna. Namun, kita perlu bersikap konsisten, autentik, dan penuh tekad dalam menjalankan iman kita. Ketika anak-anak kita melihat kita benar-benar berjalan bersama Tuhan—bukan hanya berbicara tentang Dia—hal itu akan membentuk iman mereka sendiri dengan cara yang kuat.

Apa Artinya Meniru Perilaku Seperti Kristus?

Meneladani perilaku Kristus bukan berarti bertindak suci atau berpura-pura baik-baik saja. Melainkan hidup dengan cara yang mencerminkan Yesus, bahkan dalam momen-momen kecil sehari-hari.
Itu berarti:
Menunjukkan keanggunan alih-alih bereaksi dengan frustrasi.
Berlatih kesabaran ketika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana.
Berbicara dengan ramah, bahkan saat kita sedang kesal.
Jujur, bahkan saat berbohong akan lebih mudah. Mendahulukan orang lain, bahkan saat itu tidak nyaman.
Anak-anak kita tidak hanya membutuhkan aturan—mereka perlu melihat bagaimana nilai-nilai tersebut dihayati dalam kehidupan nyata. Mereka perlu melihat bagaimana iman membentuk keputusan, sikap, dan hubungan.
1. Meneladani Iman dalam Kehidupan Sehari-hari
Iman bukan hanya sesuatu yang kita ajarkan pada hari Minggu—itu seharusnya dijalin dalam kehidupan kita sehari-hari.
Cara Menunjukkan Iman dalam Kehidupan Sehari-hari:
Berdoa secara terbuka membuat anak-anak Anda melihat Anda berdoa—tidak hanya sebelum makan tetapi juga pada saat-saat stres, bersyukur, dan mengambil keputusan. Ketika Anda membaca Kitab Suci secara teratur, anak-anak Anda melihat bahwa Alkitab penting bagi Anda, mereka akan memahami nilainya dalam kehidupan mereka sendiri. Anda juga perlu berbicara tentang Tuhan secara alami. Bagikan bagaimana Dia bekerja dalam hidup Anda, jawab pertanyaan-pertanyaan tentang iman Anda, dan hubungkan Kitab Suci dengan situasi kehidupan nyata.
Ketika iman menjadi bagian alami dalam rumah Anda, anak-anak Anda akan melihat bahwa mengikuti Yesus bukan sekadar kepercayaan—melainkan suatu cara hidup.
2. Memimpin dengan Kerendahan Hati dan Kasih Karunia
Salah satu cara paling penting untuk mencontoh perilaku seperti Kristus adalah dengan menunjukkan kerendahan hati.
Anak-anak kita tidak membutuhkan kita untuk menjadi sempurna; mereka membutuhkan kita untuk menjadi nyata. Mereka perlu melihat bahwa ketika kita melakukan kesalahan, kita bertanggung jawab, meminta maaf, dan mengandalkan kasih karunia Tuhan.
Cara Praktis Menunjukkan Kerendahan Hati:
Mengakui kesalahan mengajarkan anak Anda bahwa mengakui kesalahan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Cara lain untuk menunjukkan kerendahan hati adalah dengan meminta maaf, meskipun itu adalah anak Anda. Ketika kita meminta maaf kepada anak-anak kita, itu menunjukkan kepada mereka seperti apa kasih karunia dalam tindakan. Dan yang terpenting, andalkan Tuhan. Biarkan mereka melihat bahwa Anda bergantung pada Tuhan untuk kebijaksanaan, kekuatan, dan kesabaran. Yesus rendah hati, dan anak-anak kita akan belajar kerendahan hati dengan lebih baik ketika mereka melihatnya dalam diri kita.
3. Mengajarkan Kebaikan dan Kasih Sayang Melalui Tindakan
Kita dapat menyuruh anak-anak kita untuk bersikap baik, tetapi mereka akan benar-benar mempelajarinya ketika mereka melihat kita melakukannya.
Cara Mencontohkan Kebaikan dan Kasih Sayang:
Bicaralah dengan baik tentang orang lain. Hindari gosip atau pembicaraan negatif—anak-anak Anda akan menyadarinya. Sebaliknya, fokuslah untuk melayani bersama sebagai satu keluarga. Temukan cara untuk membantu mereka yang membutuhkan, baik dengan menjadi relawan, membantu tetangga, atau mendoakan seseorang. Anda juga harus sabar dan lembut. Cara kita menanggapi situasi sulit mengajarkan anak-anak kita cara menangani rasa frustrasi mereka sendiri. Yesus selalu memimpin dengan kasih dan belas kasih—dan ketika kita melakukan hal yang sama, anak-anak kita akan mengikutinya.
4. Menunjukkan Integritas dalam Hal Kecil dan Besar
Integritas adalah melakukan apa yang benar, bahkan saat tidak ada yang melihat. Jika kita ingin anak-anak kita tumbuh dengan karakter yang kuat, mereka perlu melihat integritas dalam diri kita.
Cara Mencontohkan Integritas:
Bersikaplah jujur, bahkan dalam hal-hal kecil—seperti saat toko memberi Anda uang kembalian terlalu banyak—memilih kejujuran mengajarkan anak-anak bahwa kebenaran itu penting.
Tepati komitmen. Jika Anda berjanji untuk melakukan sesuatu, lakukanlah. Ini menunjukkan bahwa kata-kata kita bernilai. Dan perlakukan semua orang dengan hormat. Dari pelayan, rekan kerja, hingga orang asing, anak-anak kita memperhatikan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Ketika integritas menjadi bagian normal dari kehidupan, anak-anak belajar bahwa menghormati Tuhan lebih penting daripada mencari persetujuan dari orang lain.
5. Menangani Situasi Sulit dengan Iman
Hidup tidak selalu mudah, dan anak-anak kita akan menghadapi tantangan. Cara kita menangani stres, kekecewaan, dan kesulitan mengajarkan mereka lebih dari sekadar kata-kata.
Apakah Anda panik, atau berdoa?
Apakah Anda mengeluh, atau Anda percaya Tuhan?
Apakah Anda menyalahkan orang lain, atau Anda bertanggung jawab?
Jika kita ingin anak-anak kita bersandar pada Tuhan di masa-masa sulit, mereka perlu melihat kita melakukannya terlebih dahulu.
Contoh Praktis: Ketika sesuatu yang membuat stres terjadi, katakan: "Saya tidak tahu bagaimana ini akan berjalan, tetapi saya percaya bahwa Tuhan yang memegang kendali. Mari kita berdoa bersama."
Momen sederhana ini mengajarkan anak Anda bahwa iman bukan hanya untuk saat-saat baik—tetapi untuk setiap situasi.
Diskusi: Bagaimana Tindakan Kita Membentuk Iman Anak-Anak Kita?
Apa sajakah yang membuat anak-anak lebih banyak belajar dari tindakan daripada kata-kata?
Bagaimana tanggapan Anda ketika Anda melakukan kesalahan di depan anak Anda?
Bagaimana Anda bisa lebih bertekad dalam mencontohkan perilaku seperti Kristus?
Kebiasaan apa yang Anda ingin anak Anda tiru dengan memperhatikan Anda?

Hidup Sebagai Teladan Kristus

Tidak ada orang tua yang sempurna. Kita semua pernah mengalami saat-saat frustrasi, ketidaksabaran, dan kegagalan. Namun, yang terpenting adalah konsistensi dan keaslian.
Anak-anak kita perlu melihat kita mengasihi Tuhan dalam hal-hal besar maupun kecil. Anda juga harus hidup dengan kejujuran, kebaikan, dan kerendahan hati.
Minggu ini, pilih satu area di mana Anda ingin menjadi teladan. Entah itu melatih kesabaran, menunjukkan kebaikan, atau berdoa dengan lebih terbuka, ingatlah:
Anak-anak Anda sedang memperhatikan Anda. Dan apa yang mereka lihat dalam diri Anda akan membentuk siapa mereka nantinya.
“Ikutlah teladanku, seperti aku mengikuti teladan Kristus.” – 1 Korintus 11:1

Disiplin, Koreksi, dan Dorongan

Ayat Kunci: Ibrani 12:11
"Tidak ada disiplin yang menyenangkan pada saat itu, tetapi menyakitkan. Namun, di kemudian hari, disiplin itu menghasilkan buah kebenaran dan kedamaian bagi mereka yang telah dilatih olehnya."

Menyeimbangkan Disiplin dengan Kasih Karunia

Menjaga kedisiplinan bisa jadi sulit bagi orang tua. Meski menjadi tugas tersulit, hal itu juga merupakan salah satu aspek terpenting dalam membesarkan anak yang baik. Kita sangat mencintai anak-anak kita dan ingin membimbing mereka ke jalan yang benar. Jadi, mengetahui cara mengoreksi mereka dengan baik bisa menjadi tantangan.
Beberapa orang tua terlalu fokus pada disiplin sehingga mereka mulai menetapkan aturan dan konsekuensi. Yang lain menghindari hal ini dengan harapan bahwa anak-anak mereka akan tumbuh melaluinya sendiri. Namun, tidak ada hal ekstrem yang mencerminkan hati Tuhan.
Allah mendisiplinkan kita—bukan karena marah, tetapi karena kasih. Dia mengoreksi kita untuk mendatangkan pertumbuhan, bukan rasa malu. Ibrani 12:11 memberi tahu kita bahwa disiplin bisa jadi sulit, tetapi itu adalah kunci menuju kebenaran dan kedamaian. Inilah yang kita butuhkan dari anak-anak kita: bukan sekadar ketaatan, tetapi hati yang penuh hikmat ilahi.
Dilakukan dengan kasih sayang dan keanggunan, disiplin melatih anak dalam hal tanggung jawab, pengendalian diri, dan rasa hormat sekaligus senantiasa menuntun mereka kepada kebenaran Tuhan.
Bila dilakukan dengan kasih dan rahmat, disiplin akan menuntun anak kepada tanggung jawab, pengendalian diri, dan rasa hormat sekaligus menunjukkan kebenaran Tuhan.
Jadi, mari kita telaah cara-cara menerapkan disiplin dengan aman sehingga disiplin dapat berfungsi sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sekadar hukuman.
Memahami Tujuan Disiplin
Disiplin bukan tentang kekuasaan atas anak-anak — ini tentang kebijaksanaan dalam cara kita hidup. Bahkan, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa disiplin adalah bagian penting dari pertumbuhan:
“Siapa yang sayang pada tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajarnya pada waktunya.” (Amsal 13:24)
“Tuhan memberi ajaran kepada orang yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayanginya.” (Amsal 3:12)
Disiplin yang saleh tidak berarti membesarkan anak-anak dalam ketakutan atau menghancurkan semangat mereka. Ini tentang melatih hati mereka untuk mencintai dan memilih apa yang benar.
Kita mendisiplinkan karena:
Kita mencintai mereka. Sama seperti Tuhan mendisiplinkan kita demi kebaikan kita, kita mendisiplinkan anak-anak kita untuk membimbing mereka.
Kita ingin mereka tumbuh dalam kebijaksanaan. Tanpa koreksi, anak-anak akan kesulitan memahami perbedaan antara benar dan salah.
Kita ingin melindungi mereka. Batasan bukanlah batasan — batasan adalah perlindungan untuk mencegah mereka mengalami penderitaan yang tidak perlu.
Disiplin seharusnya tidak selalu tentang kemarahan atau frustrasi—tetapi harus selalu tentang cinta dan pertumbuhan.

Perbedaan Hukuman dan Disiplin

Salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan orangtua adalah mencampuradukkan hukuman dengan ('untuk' lebih baik menyampaikan kontras dalam maksud) disiplin.
Hukuman berfokus pada perilaku masa lalu. Hukuman bertujuan untuk membuat anak menderita atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Sementara itu, disiplin berfokus pada perilaku di masa mendatang. Hukuman mengajarkan anak cara membuat pilihan yang lebih baik di masa mendatang.
Contoh: Seorang anak berbohong tentang menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Mengambil mainan favoritnya sebagai hukuman tidak akan menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Sebaliknya, memberi mereka konsekuensi, seperti menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum waktu bermain, akan mendorong mereka untuk bertanggung jawab.
Tuhan mendisiplinkan kita untuk menuntun kita ke dalam kebenaran—bukan untuk menyakiti kita. Inilah model kita tentang bagaimana kita harus mengoreksi anak-anak kita.

Cara Praktis Mendisiplinkan dengan Anggun

Disiplin yang saleh bersifat tegas dan penuh kasih. Disiplin menetapkan harapan yang jelas sekaligus menunjukkan kasih karunia saat terjadi kesalahan.
Berikut ini adalah beberapa langkah praktis untuk mendisiplinkan dengan bijaksana:
1. Tetapkan Batasan yang Jelas dan Konsisten
Anak-anak perlu tahu apa yang diharapkan dari mereka. Aturan yang tidak jelas menyebabkan kebingungan dan frustrasi.
Tetapkan aturan rumah tangga berdasarkan nilai-nilai Alkitab.
Jelaskan “alasan” di balik aturan tersebut. (Contoh: “Kita berbicara dengan ramah karena Tuhan memanggil kita untuk mengasihi sesama.”)
Bersikaplah konsisten. Jika konsekuensinya berubah setiap waktu, anak-anak akan menjadi tidak yakin dengan harapan mereka.
Batasan memberikan rasa aman—anak-anak mungkin menolak aturan, tetapi jauh di lubuk hati, mereka merasa aman karena mengetahui adanya struktur.
2. Gunakan Konsekuensi yang Mengajar, Bukan Hanya Menghukum
Konsekuensi harus masuk akal, adil, dan berhubungan dengan tindakan.
Jika seorang anak menolak makan sayur, haknya untuk makan apa pun (termasuk hidangan penutup) akan dicabut untuk sementara waktu.
Jika mereka berbuat salah, mereka menulis surat permintaan maaf agar mereka bisa belajar untuk bertanggung jawab.
Ini bukan tentang membuat mereka merasa buruk—ini tentang mengajari mereka tanggung jawab dan kebijaksanaan.
3. Tegur dengan Jiwa yang Tenang, Bukan dengan Amarah
Mudah untuk merespons secara emosional saat anak berperilaku buruk. Namun, disiplin akan lebih bermanfaat jika dilakukan dengan tenang dan penuh pertimbangan.
Berhentilah sejenak sebelum menjawab. Tarik napas dan berdoalah sebelum membahas masalah tersebut.
Turunkan suara Anda. Berteriak mungkin akan membuat Anda langsung patuh, tetapi hal itu mengajarkan rasa takut, bukan rasa hormat.
Ajukan pertanyaan. Daripada bertanya, "Mengapa kamu melakukan itu?!", cobalah bertanya, "Apa yang terjadi? Apa yang bisa kamu lakukan secara berbeda lain kali?"
Disiplin paling efektif bila datangnya dari rasa cinta, bukan rasa frustrasi.

Dorongan: Sisi Lain dari Disiplin

Koreksi itu penting, tetapi dorongan juga sama pentingnya. Anak-anak tidak boleh hanya mendengar apa yang mereka lakukan salah—mereka juga harus tahu apa yang mereka lakukan dengan benar.
Cara Mendorong Anak Anda:
Puji usaha mereka, bukan hanya hasilnya. Jika mereka mencoba jujur tetapi mengalami kesulitan, hargai usaha mereka dan dorong mereka untuk terus berkembang. Bicarakan hal-hal positif tentang mereka, alih-alih berkata, "Kamu selalu gagal," katakan, "Aku tahu kamu bisa membuat pilihan yang lebih baik lain kali." Dan jangan lupa untuk merayakan kemajuan. Ketika mereka membuat pilihan yang bijak, akui itu.
Disiplin tanpa dorongan akan berujung pada keputusasaan, namun bila koreksi dipadukan dengan penegasan, anak akan bertumbuh subur.

Yesus: Teladan Sempurna Disiplin dan Kasih Karunia

Yesus mencontohkan keseimbangan sempurna antara koreksi dan kasih karunia. Ia tidak pernah mengabaikan dosa, tetapi Ia juga tidak pernah mengutuk tanpa menawarkan kasih dan pemulihan.
Contoh: Perempuan yang Tertangkap Berzina (Yohanes 8:1-11) Ketika seorang perempuan tertangkap berbuat dosa, orang Farisi ingin menghukumnya dengan keras. Namun, Yesus menanggapinya dengan kebenaran dan kasih karunia.
Dia mengakui kesalahannya (“Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”).
Namun Dia juga menunjukkan belas kasihan (“Aku pun tidak menghukum engkau.”).
Inilah inti disiplin ilahi: mengoreksi tanpa menghancurkan, membimbing tanpa mempermalukan.
Diskusi: Bagaimana Kita Dapat Mendisiplinkan dengan Kasih?
Apa perbedaan antara disiplin dan hukuman?
Bagaimana Anda menyeimbangkan koreksi dengan dorongan di rumah Anda?
Bagaimana kita dapat meneladani kasih karunia Allah sambil tetap meminta pertanggungjawaban anak-anak?
Perubahan apa yang dapat Anda lakukan untuk mendisiplinkan dengan lebih bijaksana dan penuh kasih?

Membesarkan Anak dalam Kasih dan Kebenaran

Disiplin tidak pernah mudah, tetapi merupakan salah satu hal paling penuh kasih yang dapat kita lakukan untuk anak-anak kita. Disiplin mengajarkan mereka tanggung jawab, kebijaksanaan, dan pentingnya mengikuti jalan Tuhan.
Minggu ini, mintalah kepada Tuhan untuk:
Kesabaran untuk mengoreksi dengan cinta.
Kebijaksanaan untuk menetapkan konsekuensi yang adil dan berarti.
Kasih karunia untuk memberi semangat, bahkan dalam mengoreksi.
Tuhan adalah Bapa yang sempurna, dan Dia mengoreksi kita demi kebaikan kita dengan kasih. Saat kita mendisiplinkan anak-anak kita, marilah kita ingat bahwa tujuan kita bukanlah sekadar ketaatan—melainkan membentuk hati untuk mengasihi dan mengikuti Yesus.
“Memang tiap-tiap ganjaran yang diberikan pada waktu ia diberikan tidak menyenangkan, tetapi menyakitkan. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran dan damai sejahtera bagi mereka yang dilatih olehnya.” – Ibrani 12:11

Mengajarkan Akuntabilitas dan Konsekuensinya

Ayat Kunci: Galatia 6:7
“Jangan tertipu: Tuhan tidak dapat dipermainkan. Apa yang ditabur orang, itulah yang akan dituainya.”

Mengapa Akuntabilitas Penting dalam Mengasuh Anak

Salah satu pelajaran terpenting yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita adalah bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi. Dalam dunia yang sering kali mendorong pengalihan kesalahan, alasan, dan hak istimewa, pola asuh berdasarkan Alkitab mengajarkan akuntabilitas—mengambil tanggung jawab atas pilihan seseorang dan belajar darinya.
Sejak masa kanak-kanak, anak-anak menguji batasan. Mereka memaksakan batasan, melakukan kesalahan, dan terkadang mencoba menghindari tanggung jawab. Sebagai orang tua, mungkin ada godaan untuk melindungi mereka dari konsekuensi atau bereaksi dengan frustrasi—tetapi tidak satu pun pendekatan yang benar-benar membantu mereka tumbuh.
Tuhan, sebagai Bapa kita, tidak mengabaikan kesalahan kita atau mendisiplinkan kita karena marah. Sebaliknya, Dia dengan penuh kasih mengoreksi kita untuk membentuk karakter kita. Dengan cara yang sama, mengajarkan tanggung jawab seharusnya bukan tentang kontrol atau hukuman—melainkan tentang membimbing anak-anak kita untuk menjadi orang dewasa yang bijaksana, bertanggung jawab, dan saleh.
Akuntabilitas bukan hanya tentang mengatakan "Maafkan saya"—tetapi tentang belajar mengakui pilihan kita, memperbaiki keadaan, dan belajar dari kesalahan kita. Ketika anak-anak memahami hal ini, mereka akan menjadi orang dewasa yang menghadapi tantangan hidup dengan kebijaksanaan dan integritas.

Landasan Alkitabiah Mengenai Akuntabilitas

Alkitab menyatakan dengan jelas: pilihan kita memiliki konsekuensi, baik maupun buruk.
“Orang jujur dituntun oleh kejujurannya, tetapi orang yang tidak setia akan binasa karena tipu dayanya.” (Amsal 11:3)
“Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi.” (Amsal 28:13)
“Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” (Galatia 6:7)
Rencana Tuhan sederhana: saat kita membuat pilihan yang baik, kita akan mengalami hasil yang baik. Saat kita membuat pilihan yang buruk, kita akan menghadapi konsekuensi alami.
Sebagai orangtua, tugas kitalah untuk memperkuat prinsip ini dengan cara yang mengajarkan kebijaksanaan—bukan melalui rasa takut, malu, atau hukuman keras, tetapi melalui koreksi yang penuh kasih sayang, bimbingan yang konsisten, dan membiarkan konsekuensi alamiah menjalankan fungsinya.

Cara Mengajarkan Akuntabilitas dan Konsekuensi

Mengajarkan tanggung jawab tidak dapat dilakukan dalam semalam—melainkan proses membimbing anak-anak menuju tanggung jawab setiap hari. Berikut ini beberapa cara praktis untuk menanamkan nilai ini dengan cara yang membangun karakter dan iman:
1. Biarkan Konsekuensi Memberikan Pelajaran
Salah satu cara terbaik bagi anak untuk mempelajari tanggung jawab adalah dengan mengalami konsekuensi alami dari tindakan mereka.
Jika mereka lupa mengerjakan pekerjaan rumahnya, mereka akan menerima nilai lebih rendah.
Jika mereka merusak mainan karena frustrasi, mereka tidak akan mendapat pengganti.
Jika mereka menolak membersihkan, mereka kehilangan waktu bermain.
Ketika anak-anak merasakan beban pilihan mereka sendiri, mereka cenderung lebih mampu memetik pelajaran dari pilihan tersebut dibandingkan jika orang tua hanya memarahi mereka.
Dalam beberapa kasus, konsekuensi alami mungkin tidak aman atau tidak praktis. Dalam kasus tersebut, koreksi yang penuh kasih sayang dengan konsekuensi yang tepat diperlukan. Kuncinya adalah memastikan bahwa konsekuensi tersebut adil, terkait dengan perilaku, dan difokuskan pada pengajaran, bukan hanya hukuman.
2. Ajarkan Kepemilikan atas Tindakan
Banyak anak secara naluriah mencoba mengalihkan kesalahan ketika terjadi kesalahan:
“Itu bukan salahku!”
“Kakakku yang menyuruhku melakukannya!”
“Aku tidak bermaksud begitu!”
Namun, akuntabilitas berarti belajar untuk mengatakan, “Saya membuat pilihan itu, dan saya menerima konsekuensinya.”
Sebagai orang tua, kita dapat membantu anak-anak kita dengan:
Mendorong kejujuran – Jika mereka mengakui kesalahannya, pujilah kejujuran mereka alih-alih berfokus pada kesalahannya. (“Keberanian” mungkin abstrak—kejujuran adalah nilai yang diperkuat.)
Mengajukan pertanyaan – Daripada menuduh, tanyakan: “Apa yang terjadi?” “Apa yang bisa Anda lakukan secara berbeda?” “Bagaimana Anda akan memperbaikinya?”
Membantu mereka memperbaiki keadaan – Jika mereka menyakiti perasaan seseorang, mereka harus meminta maaf. Jika mereka merusak sesuatu, mereka harus memperbaiki atau menggantinya.
Dengan membimbing anak-anak untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, kita mengajarkan mereka integritas, kerendahan hati, dan tanggung jawab.
3. Konsisten dengan Harapan dan Konsekuensinya
Anak-anak akan tumbuh dengan harapan yang jelas. Jika aturan dan konsekuensinya berubah terus-menerus, hal itu akan menimbulkan kebingungan dan frustrasi.
Menetapkan batasan yang jelas akan membuat anak-anak Anda tahu apa yang diharapkan dan apa konsekuensinya. Jika konsekuensi dijanjikan, patuhi itu karena ketidakkonsistenan melemahkan pelajaran. Selain itu, tetap tenang dalam setiap situasi adalah kuncinya. Anak-anak merasa aman ketika mereka tahu apa yang diharapkan dan bahwa konsekuensinya adil dan konsisten.
4. Jadilah Teladan Akuntabilitas dalam Kehidupan Anda Sendiri
Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang kita lakukan daripada dari apa yang kita katakan. Jika mereka melihat kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, mereka akan cenderung melakukan hal yang sama.
Akui kesalahan Anda. Jika Anda bereaksi berlebihan, katakan, “Saya seharusnya tidak berteriak. Saya minta maaf.”
Tepati komitmen. Jika Anda berjanji, tepati janji Anda.
Tunjukkan kepada mereka cara memperbaiki keadaan. Jika Anda lupa sesuatu yang penting, biarkan mereka melihat Anda meminta maaf atau memperbaiki kesalahan tersebut.
Bila anak melihat tanggung jawab yang dicontohkan, secara alami mereka akan menirunya.
5. Dorong Pola Pikir Berkembang
Akuntabilitas bukanlah tentang membuat anak merasa bersalah atau malu—melainkan tentang membantu mereka tumbuh.
Ingatkan mereka bahwa kesalahan adalah kesempatan untuk belajar.
Dorong mereka untuk mencoba lagi alih-alih berkutat pada kegagalan.
Bicaralah pada kehidupan mereka: “Aku tahu kamu bisa melakukannya lebih baik lain kali.”
Sasarannya bukan sekadar mengubah perilaku tetapi membentuk karakter—membantu anak-anak melihat bahwa tanggung jawab bukanlah beban tetapi jalan menuju kebijaksanaan dan kesuksesan.
Diskusi: Bagaimana Disiplin Alkitab Membentuk Masa Depan Anak?
Apa sajakah cara konsekuensi alami mengajarkan tanggung jawab kepada anak?
Bagaimana akuntabilitas mempersiapkan anak-anak untuk masa dewasa?
Apa peran kasih karunia dalam disiplin?
Bagaimana orang tua dapat menyeimbangkan koreksi dengan dorongan?

Membesarkan Anak yang Bertanggung Jawab

Akuntabilitas adalah salah satu anugerah terbesar yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita. Akuntabilitas mengajarkan mereka untuk mengakui tindakan mereka, belajar dari kesalahan, dan tumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan beriman.
Minggu ini, fokus pada:
Membiarkan konsekuensi memberi pelajaran daripada menyelamatkan terlalu cepat.
Mendorong kejujuran, bahkan saat itu sulit.
Menjadikan akuntabilitas sebagai contoh dalam tindakan Anda sendiri.
Ingat: Kita tidak sekadar membesarkan anak-anak—kita sedang membentuk orang dewasa masa depan yang akan menerapkan pelajaran ini dalam iman, pekerjaan, dan hubungan mereka.
Disiplin Tuhan dalam hidup kita selalu untuk pertumbuhan dan kebaikan kita. Saat kita membimbing anak-anak kita dengan kebijaksanaan, kasih karunia, dan konsistensi yang sama, kita dapat percaya bahwa Dia bekerja di dalam hati mereka.
“Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” – Galatia 6:7

Mempersiapkan Anak-Anak untuk Kehidupan Beriman

Ayat Kunci: 3 Yohanes 1:4
“Tidak ada sukacita yang lebih besar bagi saya selain mendengar bahwa anak-anak saya hidup dalam kebenaran.”

Iman yang Bertahan Seumur Hidup

Sebagai orangtua, salah satu keinginan terbesar kita adalah melihat anak-anak kita tumbuh menjadi orang percaya yang teguh dan setia yang mengikuti Yesus bukan hanya karena kita mengajarkannya, tetapi karena mereka telah menjadikan iman sebagai milik mereka. Kita ingin mereka mengasihi Tuhan, memercayai-Nya dalam setiap musim kehidupan, dan berdiri teguh dalam iman mereka—bahkan saat kita tidak ada untuk membimbing mereka.
Namun, dalam dunia yang penuh dengan gangguan, godaan, dan perubahan nilai-nilai, membesarkan anak-anak untuk memiliki iman sejati dan abadi dapat terasa seperti sebuah tantangan.
Bagaimana kita mendorong pertumbuhan rohani dan kemandirian tanpa memaksakan keyakinan pada mereka? Bagaimana kita membekali mereka agar tetap teguh dalam keyakinan mereka saat menghadapi tantangan?
Kabar baiknya adalah kita tidak sendirian dalam perjalanan ini. Tuhan adalah satu-satunya yang bekerja di hati anak-anak kita, tetapi Dia memanggil kita untuk meletakkan dasar bagi mereka untuk bertumbuh dalam iman. Peran kita bukanlah untuk mengendalikan iman mereka, tetapi untuk menggembalakan dan memeliharanya, dan mendorong mereka saat mereka mengembangkan hubungan mereka sendiri dengan Kristus.
Mari kita telaah bagaimana kita dapat mempersiapkan anak-anak kita untuk iman yang bertahan seumur hidup.

Tujuannya: Iman yang Pribadi dan Mandiri

Wajar bagi anak-anak untuk bergantung pada iman orang tua mereka. Mereka berdoa karena kita mengingatkan mereka, mereka pergi ke gereja karena kita mengajak mereka, dan mereka percaya karena kita mengajari mereka.
Namun, seiring pertumbuhan mereka, iman mereka harus menjadi milik mereka sendiri—bukan sekadar sesuatu yang diwarisi dari keluarga. Mereka perlu mengembangkan hubungan pribadi dengan Yesus, yang dibangun atas dasar keyakinan dan bukan rutinitas.
Alkitab mengingatkan kita akan hal ini dalam 3 Yohanes 1:4: “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.”
Perhatikan bahwa tidak disebutkan "mendengar bahwa anak-anak saya hanya menghadiri gereja" atau "mematuhi peraturan." Yang dimaksud adalah berjalan dalam kebenaran. Itu berarti menjalani iman mereka dalam kehidupan sehari-hari—membuat pilihan yang saleh, mencari Kristus dalam kesulitan, dan memercayai-Nya dengan cara mereka sendiri.
Jadi, bagaimana kita membantu anak-anak kita beralih dari keyakinan yang bergantung kepada keyakinan pribadi?
1. Ajari Mereka Mencari Tuhan Bagi Diri Mereka Sendiri
Salah satu anugerah terbesar yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita adalah kemampuan untuk mencari Tuhan secara mandiri.
Daripada selalu memberi mereka jawaban, tunjukkan kepada mereka cara mencari kebenaran dalam Firman Tuhan. Daripada hanya berdoa untuk mereka, dorong mereka untuk berdoa sendiri.
Cara Mendorong Kemandirian Spiritual:
Ajari mereka cara membaca dan mempelajari Alkitab. Tunjukkan kepada mereka cara menemukan ayat yang berbicara tentang pergumulan mereka. Dorong juga mereka untuk berdoa sendiri. Mulailah dengan langkah-langkah kecil, seperti meminta mereka berdoa sebelum makan atau saat mereka merasa cemas. Bantu mereka mengenali suara Tuhan. Tanyakan kepada mereka, "Menurutmu, apa yang Tuhan ajarkan kepadamu akhir-akhir ini?" Biarkan mereka bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan. Iman semakin dalam saat kita memberi ruang untuk rasa ingin tahu dan percakapan yang jujur. Kita ingin anak-anak kita berpaling kepada Tuhan sendiri, bukan hanya bergantung pada hubungan kita dengan-Nya.
2. Jadilah Teladan Hubungan yang Otentik dengan Yesus
Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Jika mereka melihat kita menjalankan iman kita—berdoa, membaca Kitab Suci, mengandalkan Tuhan selama masa sulit—mereka akan cenderung mengikuti teladan kita.
Cara Mencontohkan Iman Sejati:
Biarkan mereka melihat Anda berdoa. Tidak hanya sebelum makan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari—ketika membuat keputusan dan mengucap syukur. Hidupkan iman dalam tindakan. Tunjukkan kepada mereka bahwa iman bukan hanya tentang menghadiri gereja—tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita mengatasi stres, dan bagaimana kita memercayai Tuhan di masa-masa sulit.
Jujurlah tentang pergumulan Anda. Jika Anda mengalami masa sulit, ceritakan (sesuai usia) bagaimana Anda memercayai Tuhan melalui masa itu. Tunjukkan sukacita dalam iman Anda. Biarkan mereka melihat bahwa mengikuti Kristus bukan hanya tentang aturan—tetapi tentang kasih, sukacita, dan hubungan yang mendalam dengan Tuhan. Ketika anak-anak melihat bahwa iman itu nyata dan relevan dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan menginginkan hubungan yang sama dengan Yesus.
3. Dorong Mereka untuk Melayani dan Membagikan Iman Mereka
Iman bertumbuh ketika diwujudkan dalam tindakan. Mengajar anak-anak untuk melayani orang lain dan membagikan iman mereka membantu mereka mengalami sukacita hidup bagi Tuhan.
Cara Mendorong Pelayanan dan Pembagian Iman:
Libatkan mereka dalam melayani orang lain. Bantu mereka berpartisipasi dalam berbagai tindakan kebaikan, seperti membantu tetangga, menjadi relawan, atau mendoakan seseorang yang membutuhkan.
Dorong mereka untuk mengajak teman-teman ke gereja atau kelompok pemuda. Berbagi iman membantu memperkuatnya. Berikan mereka kesempatan untuk memimpin. Biarkan mereka membantu memimpin kebaktian keluarga, berdoa saat makan, atau berbagi apa yang mereka pelajari dari Kitab Suci.
Bicarakan tentang alasan kita melayani dan ingatkan mereka bahwa kita melayani bukan untuk mendapatkan kasih Tuhan, tetapi karena kita mengasihi-Nya. Iman yang aktif dan berfokus ke luar adalah iman yang bertahan lama.
4. Melengkapi Mereka untuk Berdiri Teguh dalam Imannya
Pada suatu saat, setiap anak akan menghadapi tantangan terhadap iman mereka—tekanan dari teman sebaya, keraguan, atau pertentangan budaya. Tugas kita adalah membekali mereka agar tetap teguh saat hal itu terjadi.
Ajari mereka kebenaran Alkitab. Pastikan mereka memahami apa yang mereka yakini dan mengapa mereka meyakininya. Persiapkan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit. Bahas topik-topik seperti, "Apa yang harus saya katakan jika seseorang mempertanyakan iman saya?" atau "Bagaimana jika saya tidak selalu merasa dekat dengan Tuhan?" Dorong mereka untuk bergaul dengan orang-orang percaya lainnya. Persahabatan dan mentor yang mengasihi Yesus akan mendorong mereka dalam perjalanan hidup mereka. Ingatkan mereka bahwa keraguan adalah hal yang wajar. Keraguan tidak berarti iman mereka lemah—itu berarti mereka berpikir secara mendalam. Bantu mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan Kitab Suci. Iman yang diuji dan diperkuat menjadi iman yang bertahan lama.

Membantu Anak-Anak Mengembangkan Iman Mereka Sendiri di Dalam Kristus

Ayat Kunci: Kolose 2:6-7
“Karena itu, sebagaimana kamu telah menerima Kristus Yesus, sebagai Tuhan, hendaklah kamu hidup di dalam Dia, berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, diteguhkan dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan berlimpah-limpah dalam ucapan syukur.”

Iman yang Melampaui Masa Kanak-kanak

Sebagai orangtua, kita menginginkan lebih dari sekadar perilaku baik atau kesuksesan dalam hidup bagi anak-anak kita—kita ingin mereka mengenal dan mengikuti Yesus secara pribadi. Kita ingin mereka memiliki iman yang bukan hanya sesuatu yang mereka pelajari saat masih anak-anak, tetapi sesuatu yang tumbuh bersama mereka hingga dewasa.
Namun, inilah tantangannya: iman tidak dapat diwariskan. Seorang anak mungkin tumbuh dalam keluarga Kristen, pergi ke gereja setiap hari Minggu, dan bahkan menghafal ayat-ayat Alkitab—tetapi jika iman mereka hanyalah sesuatu yang mereka ikuti karena orang tua mereka, iman itu mungkin tidak akan bertahan lama saat mereka menghadapi tantangan di dunia nyata.
Jadi, bagaimana kita membantu anak-anak kita mengembangkan iman pribadi yang sejati—iman yang berakar pada Kristus, bukan sekadar tradisi keluarga?
Kolose 2:6-7 mengingatkan kita bahwa iman harus aktif, bertumbuh, dan berakar kuat di dalam Kristus. Tidaklah cukup bagi anak-anak untuk "meminjam" iman dari orang tua mereka—mereka perlu menjadikannya milik mereka sendiri.
Sesi ini akan membahas cara-cara praktis untuk membimbing anak-anak menuju iman yang bersifat pribadi, kuat, dan mampu bertahan dalam ujian waktu.

Mengapa Anak-Anak Perlu Mengembangkan Iman Mereka Sendiri

Mudah bagi anak-anak untuk mengikuti rutinitas agama Kristen—menghadiri gereja, berdoa sebelum makan, dan mengikuti tradisi keluarga—tanpa sepenuhnya memahami siapa Yesus bagi mereka secara pribadi.
Namun seiring bertambahnya usia, mereka akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan berikut:
“Mengapa saya percaya pada Tuhan?”
“Bagaimana saya tahu bahwa Kekristenan itu benar?”
“Apakah keyakinanku benar-benar milikku, atau hanya sesuatu yang orang tuaku ajarkan padaku?”
Jika anak-anak tidak bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini dalam lingkungan yang aman dan mendukung, mereka mungkin akan meninggalkan iman mereka saat mereka memasuki masa dewasa.
Iman yang kekal adalah iman yang telah diuji, ditelusuri, dan berakar kuat dalam kebenaran Tuhan.

Cara Membantu Anak-Anak Membangun Hubungan Pribadi dengan Kristus

Iman bukan hanya tentang mengetahui jawaban yang benar—tetapi tentang hubungan yang nyata dengan Yesus. Berikut ini cara kita dapat membantu anak-anak beralih dari mengikuti aturan menjadi mengikuti Kristus dengan cara mereka sendiri.
1. Dorong Pertanyaan dan Eksplorasi
Anak-anak akan memiliki pertanyaan tentang iman—dan itu hal yang baik! Iman menjadi lebih kuat ketika dieksplorasi, diuji, dan dipahami.
Alih-alih mengabaikan pertanyaan sulit, sambutlah pertanyaan itu. Jika seorang anak bertanya, “Bagaimana kita tahu Tuhan itu nyata?” atau “Mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan?” jawablah dengan, “Itu pertanyaan yang bagus. Mari kita bahas itu bersama-sama.”
Jika Anda tidak tahu jawabannya, akui saja dan temukan jawabannya bersama-sama. Ini mengajarkan mereka bahwa iman adalah sebuah perjalanan, bukan sekadar serangkaian jawaban yang pasti.
Bagikan pergumulan iman Anda sendiri. Biarkan mereka melihat bahwa keraguan adalah hal yang wajar dan bahwa Tuhan cukup besar untuk menangani pertanyaan-pertanyaan kita. Iman tumbuh bukan dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan sulit, tetapi dengan mengatasinya dengan kebenaran dan kasih karunia.
2. Ajari Mereka Mendengar Suara Tuhan Sendiri
Iman pribadi berarti anak-anak belajar mengenali dan menanggapi suara Tuhan—bukan hanya mendengarkan orang tua mereka.
Cara Membantu Anak Mendengar Suara Tuhan:
Dorong mereka untuk berdoa secara pribadi. Biarkan mereka berdoa dengan kata-kata mereka sendiri, bukan sekadar mengulang doa yang dihafal. Dan ajari mereka untuk mendengarkan Tuhan. Tanyakan, "Menurutmu, apa yang Tuhan ajarkan kepadamu akhir-akhir ini?" Atau Anda dapat memberikan Kitab Suci dan menunjukkan kepada mereka cara menemukan ayat-ayat Alkitab yang sesuai dengan pergumulan, ketakutan, dan pertanyaan mereka.
Ketika anak-anak mengalami sendiri kehadiran Tuhan, iman mereka menjadi nyata.
3. Biarkan Mereka Mengambil Kepemilikan atas Praktik Iman Mereka
Pada suatu saat, anak-anak perlu bertanggung jawab atas pertumbuhan rohani mereka sendiri. Ini berarti membantu mereka beralih dari peserta pasif menjadi pengikut Yesus yang aktif.
Dorong mereka untuk membaca Alkitab secara pribadi. Daripada hanya melakukan renungan keluarga, bantu mereka mengembangkan kebiasaan mereka sendiri untuk membaca Firman Tuhan.
Biarkan mereka memilih cara mereka ingin mengabdi. Baik itu membantu di gereja, menjadi sukarelawan, atau membagikan iman mereka, beri mereka ruang untuk menemukan cara mereka ingin menjalankan iman mereka.
Biarkan mereka membuat pilihan tentang keterlibatan di gereja. Daripada memaksakan kehadiran, dorong mereka untuk berpartisipasi dalam kelompok pemuda, kelompok belajar Alkitab, atau pelayanan penyembahan yang menarik minat mereka.
Iman bertumbuh lebih kuat ketika anak merasa bahwa mereka membuat komitmen mereka sendiri kepada Tuhan dan bukan sekadar mengikuti harapan keluarga.
4. Bantu Mereka Menerapkan Iman dalam Kehidupan Nyata
Iman bukan hanya tentang mengetahui Alkitab—tetapi tentang menjalaninya. Anak-anak perlu melihat bagaimana iman diterapkan pada pergumulan, hubungan, dan keputusan yang nyata.
Cara Membuat Iman Menjadi Praktis:
Bicarakan tentang bagaimana iman memengaruhi kehidupan sehari-hari. Tanyakan, “Bagaimana kita bisa memercayai Tuhan dalam situasi ini?” atau “Apa yang akan Yesus lakukan dalam konflik ini?”
Ajari mereka untuk mengandalkan Tuhan di saat-saat sulit. Saat mereka menghadapi kekecewaan, alih-alih berkata, "Tidak apa-apa," dorong mereka untuk berdoa dan mencari penghiburan dari Tuhan.
Dorong mereka untuk melayani orang lain. Tunjukkan kepada mereka bahwa iman adalah tentang mengasihi orang lain, bukan hanya menghadiri gereja.
Ketika anak-anak melihat keimanan sebagai sesuatu yang membantu mereka dalam kehidupan nyata, keimanan menjadi lebih dari sekadar kepercayaan—keimanan menjadi sebuah landasan.
Diskusi: Bagaimana Orang Tua Dapat Membekali Anak untuk Hidup Bertanggung Jawab di Dunia Saat Ini?
Bagaimana orang tua dapat menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa bebas untuk bertanya tentang iman?
Apa sajakah cara praktis untuk membantu anak-anak mengembangkan kebiasaan rohani pribadi?
Bagaimana orang tua dapat membimbing anak untuk menerapkan iman dalam situasi sehari-hari?
Tantangan apa yang dihadapi kaum muda dalam mempertahankan iman mereka di dunia saat ini? Bagaimana orang tua dapat membantu?

Dorongan Terakhir

Pada akhirnya, iman adalah perjalanan pribadi. Kita dapat membimbing, mengajar, dan menjadi teladan, tetapi pada akhirnya, hanya Tuhan yang dapat mengubah hati seorang anak.
Jika Anda khawatir apakah iman anak Anda akan bertahan, ingatlah ini:
Tuhan selalu bekerja di hati mereka—bahkan ketika kita tidak langsung melihat hasilnya.
Peran kita adalah menanam benih—Tuhanlah yang menumbuhkannya.
Doa adalah alat terbaik kita. Teruslah tingkatkan perjalanan iman anak Anda kepada Tuhan.
Minggu ini, fokus pada:
Dorong percakapan iman yang jujur, bantu anak Anda bertanggung jawab atas pertumbuhan rohaninya, dan percayalah bahwa Tuhan sedang bekerja—bahkan dalam pergumulan mereka. Iman yang berakar pada Kristus tidak akan mudah tergoyahkan. Teruslah menanam, teruslah berdoa, dan percayalah bahwa Tuhan sedang menumbuhkan sesuatu yang indah dan abadi di hati anak Anda.
“Karena itu, sebagaimana kamu telah menerima Kristus Yesus, sebagai Tuhan, hendaklah kamu hidup di dalam Dia, berakar di dalam Dia dan dibangun di dalam Dia, diteguhkan dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan berlimpah-limpah dalam ucapan syukur.” – Kolose 2:6-7